DARA | JAKARTA – Data KPU hingga kemarin, Rabu 1 Mei 2019, jumlah petugas KPPS yang meninggal kembali bertambah menjadi 377 orang.
Lantas, benarkan kematian para petugas KPPS itu karena kelelahan?
Dikutip dari CNNIndonesia, Kamis (2/5/2019), Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Umar Zein, mengatakan, dalam terminologi kedokteran, tidak ada kematian disebabkan kelelahan.
Umar Zein yang juga mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RUSD) dr Pirngadi Medan itu menguraikan, dulu saat jaman kolonial, masa Gubernur Jenderal HW Daendels, 1808, ratusan warga pribumi dipaksa untuk bekerja di proyek pembangunan Jalan Raya Anyer-Panarukan, kerja paksa namanya.
Pribumi dipaksa bekerja membuat parit, memecah batu gunung dan mengangkat bahan-bahan yang diperlukan. Mereka bekerja siang malam tak tentu waktu istirahat dan makan, sehingga pasti kelelahan dan kekurangan gizi, kehausan, kelaparan hingga daya tahan tubuhnya melemah, akhirnya jatuh sakit. Bahkan, banyak yang terkena malaria tropika, kejang-kejang, koma, kemudian meninggal.
Lalu dalam konteks pemilu saat ini, kata Umar, situasinya berbeda. Petugas KPPS yang bekerja di TPS punya kesempatan untuk beristirahat dan mengatur ritme kerjanya. “Mereka cukup mendapatkan minuman dan makanan, bukan kerja paksa, ada waktu istirahat meski bergantian, boleh permisi bila kondisi darurat,” ujarnya.
Menurutnya, ada tiga pintu kematian, yaitu otak, jantung dan paru. Bila otak tidak cukup mendapat oksigen oleh berbagai sebab, kata dia, misalnya penyumbatan pembuluh darah, maka terjadi kematian sel-sel otak.
“Tetapi pasien tidak langsung mati. Ada mekanisme kompensasi untuk mempertahankan kehidupan sel-sel yang lain,” ujarnya.
Bahkan, kematian batang otak disebut kematian secara medis, butuh waktu beberapa jam untuk kemudian terjadi kematian biologis setelah jantung dan paru berhenti berfungsi. Umar memastikan kelelahan petugas pemilu tidak sampai 1/1000 dari kelelahan para pekerja Anyer-Panarukan.
“Kelelahan mungkin bisa sebagai pemicu gangguan akut atau eksaserbasi dari penyakit kronik yang diidap. Namun, sekali lagi, ini butuh pembuktian melalui pemeriksaan medis yang cermat,” ujarnya.
Umar berkesimpulan, ‘kejujuran’ pihak rumah sakit tentang penyebab kematian juga menjadi penting untuk menerbitkan rekomendasi dari kalangan akademisi kesehatan bagaimana agar dampak petaka kepemiluan tidak terulang kepada para petugas.
“Rekomendasi baru akan muncul jika diterbitkan jika ada investigasi soal itu,” ujarnya.***
Editor: denkur
Bahan: CNNIndonesia