Pakaian serba putih yang dikenakan para peserta bukan sekadar seragam – melainkan simbol kesucian niat untuk menghormati para pendiri dan pejuang Cirebon.
DARA| Langit Cirebon berselimut awan tipis saat langkah kaki para pemimpin daerah menyusuri jejak sejarah yang telah mengakar selama lebih dari lima abad. Dalam suasana penuh khidmat, Bupati Cirebon H. Imron, Wakil Bupati H. Agus Kurniawan Budiman, jajaran Forkopimda, TNI dan Polri, memulai perjalanan napak tilas dari jantung sejarah peradaban Keraton Kasepuhan.
Pakaian putih yang dikenakan para peserta bukan sekadar seragam – melainkan simbol kesucian niat untuk menghormati para pendiri dan pejuang Cirebon. Dari halaman keraton yang sakral, perjalanan dilanjutkan menuju makam Sunan Gunung Jati, sosok wali agung yang menjadi pelita dakwah Islam dan pembentuk identitas Cirebon.
Ini bukan kegiatan seremonial biasa, napak tilas ini adalah ziarah jiwa. Sebuah momen menggugah yang mengajak setiap insan untuk merenung: dari mana Cirebon berasal, siapa yang berjuang, dan apa yang harus diwariskan.
“Sehari tidak cukup untuk merayakan sejarah. Cirebon berdiri bukan dalam semalam. Ini adalah warisan darah, air mata, dan doa dari para pendakwah dan pejuang,” ucap Bupati Imron, mengingatkan bahwa sejarah bukan sekadar narasi, tapi roh perjuangan yang harus terus dinyalakan.
Keraton Kasepuhan bagian saksi bisu dari dinamika politik, dakwah, dan budaya selama ratusan tahun, menjadi gerbang pembuka ingatan kolektif. Sedangkan makam Sunan Gunung Jati adalah titik puncak spiritual, tempat di mana ribuan harapan, syukur, dan doa tertambat.
Kegiatan ini bukan hanya menyatukan pemimpin daerah dan aparat keamanan, tetapi juga menjadi panggilan jiwa bagi masyarakat Cirebon untuk menengok ke belakang, agar tahu ke mana harus melangkah ke depan.
“Jika kita lupa pada sejarah, kita kehilangan arah. Pembangunan sejati bukan hanya soal jalan dan gedung, tapi tentang menjaga akar budaya dan menyambung napas perjuangan para leluhur,” tambah Imron, penuh keyakinan.
Dengan segala dramanya, dari langkah kaki yang menggema di pelataran keraton hingga keheningan yang menyelimuti makam Sunan, napak tilas ini membuka mata bahwa Cirebon bukan sekadar wilayah, melainkan peradaban yang dibangun dengan iman dan perjuangan.
Rangkaian ini diharapkan menjadi agenda tahunan yang tidak hanya dikenang, tapi dirasakan, dihayati, dan diwariskan agar Cirebon terus berdiri gagah, bukan hanya oleh bangunan, tapi juga oleh ruh sejarahnya yang tak lekang oleh waktu.
Editor: Maji