Bandung Punya Cerita (3): Dipuja Bukan Dimanja, Menulis Berita Bukan Hanya Bicara

Selasa, 21 September 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi koran (Foto: Pixabay)

Ilustrasi koran (Foto: Pixabay)

Tahun 1980-an, ada tiga percetakan koran yang terkenal, yakni Golden Web, Granesia dan Grafiti. Setiap hari ribuan eksemplar koran dicetak disana. Koran terbitan Bandung yang masih bertahan meski persaingan begitu hebat dalam dunia penerbitan pers.


Senja menjelang magrib, ruang redaksi mulai ramai. Para redaktur sudah duduk di kursinya masing-masing. Ada yang bermuka bengis ada pula yang selengehan. Namun, sang pemimpin redaksi belum tampak di ruangan kerjanya.

Para wartawan satu per satu berdatangan. Terkadang rasa lelah terlihat di wajahnya. Diskusi kecil pun terjadi antara wartawan ddengan redaktur atau wartawan dengan wartawan seraya sesekali dihiasi gelak tawa, saling bercerita tentang situasi hari ini di lapangan.

Suara mesin tik merk olympia, kofa atau brother deluxe mulai terdengar ramai. Para wartawan mencurahkan pikirannya, ide -ide kreatifnya menyusun berita yang didapat tadi siang. Hanya memakan waktu sekitar tujuh menit satu berita selesai mereka ketik, lalu diserahkan ke redaktur bersama fotonya hasil cuci cetak di Otang jalan Pasundan.

Sehari rata-rata lima berita yang mereka ketik. Tuntas tugas hari itu, namun tak buru-buru pulang, ngobrol sana sini seraya menunggu penugasan untuk besok hari.

Wartawan Bandung di tahun 80-an hampir serempak memegang peribasaha: pantang pulang kalau tidak malam. Itu makanya, setelah selesai buat berita mereka masih berada di ruang redaksi, menanti rapat proyeksi. Bahkan, ada yang diwajibkan piket untuk mengcover peristiwa yang siapa tahun terjadi malam itu agar tidak ketinggalan oleh koran lain.

Pemimpin redaksi datang dengan wajah kecut. Jajaran redaktur dan wartawan tahu ia sedang tidak bersahabat, memendam kekesalan. Benar saja pemred setibanya di ruang kerjanya berteriak memanggil nama seorang wartawan, dan ternyata ada sesuatu yang terjadi.

Biasanya jika pemred marah kalau bukan soal wartawan yang mangkir dari penugasan pasti karena ada komplen dari sumber yang diberitakan tadi siang. Lumrah terjadi di setiap koran.

Begitulah suasana keseharian ruang redaksi. Ada tegang disana, ada tawa disana dan ada keasyikan yang menghiasi hiruk pikuk dunia kewartawanan dan penerbitan pers.

Wartawan saat itu benar-benar ditempa dengan profesionalitas kewartawanannya, sehingga kwalitas pemikiran, kwalitas kebatinan dan kwalitas penulisan berita menjadi sebuah tuntutan profesi yang sangat harus diutamakan.

Tak heran kalau persaingan antar wartawan pun terjadi di lapangan. Mereka saling memburu berita bagus. Mereka akan merasa kecewa dan marah pada dirinya sendiri jika tak mendapatkan berita sebagus wartawan lain.

Mereka tak mau ketinggalan langkah, tak mau kehabisan ide, sehingga wartawan saat itu selalu berpedoman pada petuah kaum senior: satu langkah kaki dari rumah harus punya satu bahan berita yang akan mereka tulis hari itu.

Lucunya lagi, saat itu di Bandung dikenal denga tiga istilah kelompok wartawan, yakni ada yang disebut wartawan humas, wartawan malam dan wartawan kasus.Apa itu?

Sebutan wartawan humas, adalah bagi kelompok wartawan yang kesehariannya nongkrong di kantor-kantor humas pemerintahan atau perkantoran.

Maksud pemerintahan adalah pemerintahan kabupaten, kotamadya dan provinsi. Mereka setiap hari ada di sana keluar masuk ruangan humas dan keluar masuk kantor-kantor dinas. Sesekali menghadiri jumpa pers bupati, walikota atau gubernur.

Kelompok wartawan ini biasanya cukup “basah”. Setiap hari selalu saja ada uang masuk ke saku. Jumlahnya dari seharga sekadar uang bensin hingga jika wartawan butuh keperluan. Tanpa dipinta pun para kepala dinas selalu menyelipkan amplop setiap kali usai diwawancara atau sekadar bertemu ngobrol-ngobrol. Itu lumrah terjadi.

Lalu, kelompok wartawan dunia malam. Kelompok ini adalah wartawan yang berani menghadapi resiko. Mereka keluar masuk diskotik, pub, klab malam hingga lokalisasi prostitusi. Namun, itu jika mereka ingin menulis berita tentang sisi kehidupan dunia malam. Selebihnya, mereka nongkrong di kepolisian, menunggu peristiwa yang terjadi malam itu.

Bahkan, terkadang kelompok wartawan ini keluar masuk dapur rekaman. Mengintip calon artis yang siap ditulis agar mengorbit. Begitulah, sebuah kesuksesan bagi seorang wartawan jika calon artis yang dia profilkan akhirnya melejit menjadi seorang artis ternama, meski terkadang tak ada ucapan terimakasih dari si artis yang ia orbitkan.

Terakhir kelompok wartawan kasus. Maksud kasus saat itu tak hanya soal korupsi, tapi juga segala peristiwa yang mengarah ke tindakan kriminal, umapanya pembunuhan, perkosaan, pencurian dan sebagainya. Wartawan ini biasanya nongkrong di kepolisian, sehingga muncul istilah wartawan polda atau wartawan kriminal.

Wartawan yang seperti ini adalah wartawan yang memiliki intelegensia tinggi, sebab saat itu wartawan tak hanya nunggu info kepolisian tapi terkadang ada juga wartawan yang berani melakukan investigasi penelusuran atau penyelidikan sendiri, sehingga berita yang mereka buat berbeda dengan wartawan atau media lain.

Kebijakan redaksi di setiap media memang berbeda, ada yang menerapakan wartawan bidang, yakni wartawan ekonomi, wartawan pertanian, wartawan pendidikan, wartawan olahraga, wartawan kriminal hingga wartawan artis. Semuanya pacun pada bidangnya, berjalan dalam koridornya.

Di tahun 80-an yang saya ingat, dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, wartawan saat itu hanya dibekali selembar surat identitas yang ditandatangani pemimpin redaksi. Pasalnya, untuk memiliki kartu organisasi (waktu itu hanya ada PWI) itu tidak mudah. Tiga tahun jadi wartawan baru mendapat kartu PWI. Itu pun jika lulus KLW (kelompok latihan wartawan).

Wartawan dekade tahun 80-an benar-benar mengabdikan dirinya kepada profesinya. Wawasan dan mental adalah jadi syarat yang harus dimiliki. Dibubuhi dengan sikap militansi terhadap profesi dan media dimana ia bekerja.

Jadi wartawan saat itu tidak mudah, karena wartawan kala itu jadi sebuah profesi yang membanggakan dan dibanggakan. Disegani dan dihormati. Dipuja namun tak dimanja. Simak nomor selanjutnya yang menggambarkan bagaimana kehidupan wartawan menginjak tahun 90-an.***

Editor: denkur

Berita Terkait

Penurunan Penghasilan Pengaruhi Pola Belanja Masyarakat saat Lebaran
Tak Hanya ASN, Pekerja Swasta Juga Dapat THR, Segini Besarannya
Jelang Mudik, Inilah Instruksi Mendagri untuk Kepala Daerah
Permudah Distribusi Penumpang, Pemerintah Luncurkan Platform Terpadu Mudik Gratis Nusantara Hub
Webinar Universitas Paramadina: Menyoal Pseudo-Spiritualitas dan Budaya Korupsi di Negara Religius
RELOKASI RAKYAT GAZA Diplomasi Irlandia untuk Trump
Sidak Pasar Tagog Padalarang, Tim Gabungan Temukan MinyakKita Kurang Takaran
Dugaan Korupsi Dana Iklan Bjb, KPK Umumkan Lima Tersangka
Berita ini 5 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 15 Maret 2025 - 14:40 WIB

Penurunan Penghasilan Pengaruhi Pola Belanja Masyarakat saat Lebaran

Sabtu, 15 Maret 2025 - 11:38 WIB

Tak Hanya ASN, Pekerja Swasta Juga Dapat THR, Segini Besarannya

Sabtu, 15 Maret 2025 - 11:28 WIB

Jelang Mudik, Inilah Instruksi Mendagri untuk Kepala Daerah

Sabtu, 15 Maret 2025 - 11:22 WIB

Permudah Distribusi Penumpang, Pemerintah Luncurkan Platform Terpadu Mudik Gratis Nusantara Hub

Sabtu, 15 Maret 2025 - 11:06 WIB

Webinar Universitas Paramadina: Menyoal Pseudo-Spiritualitas dan Budaya Korupsi di Negara Religius

Berita Terbaru

BANDUNG UPDATE

Penurunan Penghasilan Pengaruhi Pola Belanja Masyarakat saat Lebaran

Sabtu, 15 Mar 2025 - 14:40 WIB

Foto: Komdigi

HEADLINE

Jelang Mudik, Inilah Instruksi Mendagri untuk Kepala Daerah

Sabtu, 15 Mar 2025 - 11:28 WIB