Cerpen: Naskah dan Nafkah

Sabtu, 25 September 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Matahari terik sekali. Namun dengan lincah Resi Kiwari asyik memainkan jemari tangannya di atas keyboard laptop di sudut kamarnya.


Sejenak jemari tangannya terhenti ketika ponsel di samping kiri laptopnya berdering. Resi mengangkatnya dengan antusias. In shaa Allah awal bulan depan kelar.

Kakek empat cucu itu tampak sumringah menjawab pertanyaan Trimansyah, kepala editor penerbit buku.

“Oke, ditunggu!” Trimansyah sudah tak sabar.

Resi kembali pada laptopnya. Siang itu dia bertekad merampungkan satu bab.

Sesungguhnya, bukan hanya Trimansyah yang sudah tak sabar, Resi pun sudah tak sabar untuk segera menyerahkan naskahnya kepada Trimansyah.

Sambil menyandarkan punggung di kursi kerjanya, Resi tertegun saat melirik kalender duduk di atas mejanya. Dia menatap tanggal 25 yang dilingkarinya dengan spidol merah. Itulah tanggal pernikahannya dengan Amirah.

Bulan depan Resi ingin merayakannya berdua dengan Amirah. Resi sangat mencintai sang istri yang setia pada segala keadaan sang suami. Resi berjanji akan menghadiahkan kalung dan gelang kesehatan made in Korea pada sang istri. Jika mungkin dia ingin menghadiahkannya di sebuah kafe vegetarian, tempat favoritnya. Untuk itulah Resi butuh sejumlah uang.

Bersyukur, Trimansyah bersedia membayar uang muka pada saat Resi Kiwari menyerahkan naskah bukunya. Uang muka yang akan diterimanya akan tersisa cukup banyak meski dibelanjakan kalung dan gelang kesehatan yang nilainya jutaan rupiah.

Lama Resi tidak menerima pesanan naskah dari penerbit buku dan media massa cetak. Maklum, sejak dunia maya berjaya, banyak media cetak merampingkan jumlah halamannya, dan bahkan di antaranya lenyap ditelan jaman. Otomatis, lama pula Resi tidak menerima honor tulisan. Terlebih di masa pandemi Covid-19 ini. Tapi Resi dan Amirah senantiasa bersyukur kepada Allah.

Faktanya, mereka tak pernah kelaparan. Ada saja rejeki yang datang tiba-tiba. Termasuk pesanan naskah buku dari Trimansyah datangnya tiba-tiba, tak terbayangkan sebelumnya.

Judul buku yang ditulisnya adalah "Naskah dan Nafkah". Ini adalah buku keempat puluh. Awalnya penerbit mengajukan judul buku Suka Duka Insinyur Cerpen. Namun Resi Kiwari mengubahnya menjadi Naskah dan Nafkah. Pasalnya, Resi bukan hanya menulis cerpen.

Entah bagaimana kisahnya hingga Resi Kiwari lebih dikenal dengan julukan Insinyur Cerpen. Entah siapa pula yang pertama kali menjulukinya. Bisa jadi dia dijuluki demikian oleh karena sebagian besar buku-bukunya yang pernah terbit adalah buku kumpulan cerpen.

Namun, tak berlebihan menyematkan julukan tersebut pada seorang Resi. Faktanya Resi Kiwari memang produktif menulis cerpen. Sudah empat puluh tahun dia menulis cerpen. 2.080 cerpen karyanya telah dimuat di berbagai media cetak ternama di tanah air. Bahkan, sebagian dari cerpen-cerpen karyanya telah ditranslasi ke dalam berbagai bahasa asing. Karena itu dia sempat melanglang dunia.

Karena itu pula dia kerap didapuk sebagai pembicara dalam event-event kesusastraan. Termasuk dalam pelatihan penulisan cerpen. Padahal, sekali lagi, dia tidak mengkhususkan diri sebagai penulis cerpen.

Latar belakangnya adalah jurnalis. Dia memulai karirnya di usia 20 tahun dengan bekerja di sebuah koran ibu kota sebagai jurnalis bidang pendidikan, sosial dan ekonomi, selama sepuluh tahun.

Tahun-tahun berikutnya dia lalui sebagai penulis lepas. Dia tidak bisa bertahan lebih lama sebagai jurnalis. Di lapangan banyak hal yang berbenturan dengan hati nuraninya.

“Saya tidak suka praktik jurnalistik kotor,” ungkapnya saat dia menjelaskan bedanya jurnalis, penulis, dan blogger, kepada puluhan peserta sebuah seminar kepenulisan.

Akibatnya, sepuluh tahun jadi jurnalis, dia tidak jadi orang kaya.

“Gimana bisa kaya, UMR pun nggak nyampe,” ungkap Resi seraya tertawa.

Dia tidak pernah merasa risih karenanya. Baginya, profesi jurnalis bukan jalan pintas untuk menumpuk aset duniawi.

Sebagai penulis lepas, ribuan esai dan ratusan puisi telah ditulisnya. Alhamdulillah, dari hasil menulis, dia mampu menyekolahkan dua anaknya hingga sarjana. Kini anak-anaknya sudah berumah tangga. Mereka sudah mandiri. Anak sulung laki-laki jadi guru multimedia di SMK, anak bungsu perempuan jadi guru privat Bahasa Inggris di rumahnya. Hebatnya, keduanya menjadi blogger karena punya hobi sama membaca dan menulis.

Jaman media cetak bergairah, tulisan-tulisan karya Resi bertaburan di banyak media ternama di tanah air. Esai-esainya, puisi-puisinya, cerpen-cerpennya, dan bahkan feature-feature-nya menghiasi kolom-kolom media massa.

Setiap minggu Resi bisa menerima honorarium lebih dari gaji bulanan pegawai pabrik. Di era digital ini Resi enggan menulis di media online. Media online di tanah air tidak bisa menghargai karya intelektual. Honor tulisannya parah. Masak ada honor Rp7.000 untuk sebuah tulisan. Terlalu!

Awal bulan tiba. Dia ingat pada janjinya akan menyerahkan naskah bukunya kepada Trimansyah. Sayang sekali naskah bukunya tidak bisa di-print di rumah. Printer-nya rusak.

“Maaf, hari ini saya belum bisa menyerahkan naskah. Printer saya rusak. Saya harus pergi ke tukang print,” kata Resi kepada Trimansyah melalui WhatsApp. Hatinya bertanya-tanya, jaman digital ini kok masih pakai hardcopy.

Dengan sepeda vespanya, dari rumah Resi menuju tempat print. Sepuluh menit dia sampai di sana, di samping kanan Rumah Makan Padang. Tapi Resi harus menerima kekecewaan. Tukang print itu tidak bisa melayani Resi oleh karena printer-nya rusak.

“Saya belum beli lagi printer baru. Sekarang mah sudah jarang orang nge-print,” jelas si tukang printer.

Matahari terik sekali. Resi mulai kelimpungan. Di sekitar itu tidak ada lagi tukang print. Dia berpikir untuk pergi ke pusat kota. Terpaksa Resi meminta waktu lagi kepada Trimansyah.

“Inshaa Allah besok saya akan ke kota untuk cetak naskah ini,” ucap Resi kepada Trimansyah lewat WhatsApp.

Tapi besok Trimansyah tidak bisa ditemui. Katanya dia harus menghadiri acara khitbah adiknya di luar kota. Namun kabar baik diterima Resi siang itu. Sebelum pergi ke pusat kota, WhatsApp Resi berbunyi. Isinya, Trimansyah cegah Resi cetak naskah.

“Sudahlah, cukup bawa flashdisk saja,” kata Trimansyah.

Resi tersenyum lebar.

“Ini baru jaman digital!” Rasa senang di hatinya mengalahkan keceriaan matahari saat itu. Sampai di rumah pun rasa senangnya tidak sirna. Terlebih kedatangan Resi di rumah disambut dengan senyuman manis Amirah.

“Lusa, Abah akan menyerahkan naskah ini ke Pak Trimansyah,” Resi menunjukkan flashdisk berwarna merah kepada Amirah.

“Good luck always, Abah,” Amirah mendaratkan bibir tipisnya pada kening Resi yang bergaris-garis.

Resi dan Amirah telah bangun sebelum fajar menyingsing. Sejak tinggal berdua, mereka terbiasa bangun dini hari.

Usai mandi, sholat subuh, Resi dan Amirah minum air hangat campur jeruk nipis dan madu dilanjutkan dengan menikmati jus buah-buahan sebagai sarapannya. Setengah jam kemudian mereka olah raga ringan dengan mengamalkan gerakan Ping Shuay Kung.

Pola hidup sehat itu mereka anut sejak anak-anak mereka masih kecil. Tentu saja kebiasaan mereka diduplikasi anak-anaknya.

Kata Resi, sehat itu harus diperjuangkan jika kita sayang pada keluarga. Dengan sehat, keluarga bahagia. Sebaliknya, bila kita sakit, keluarga ikut menderita. Maka, menjalani pola hidup sehat adalah harga yang harus dibayar untuk sehat dan tetap sehat.

Untuk sehat, kata Resi, kita harus memilih: mau bayar harga di rumah sakit atau di rumah saja? Bila di rumah saja berarti harus menempuh pola hidup sehat.

Dalam buku Naskah dan Nafkah, Resi menulis bab khusus tentang pentingnya sehat bagi penulis. Karena sehatlah kita bisa sibuk, termasuk sibuk menulis, begitu akhir kata dari bab tentang kesehatan itu.

Gelas bening berisi jus jambu merah dan nenas madu sudah kembali kosong. Tapi mereka masih asyik duduk berdua di atas sofa. Jarum jam yang menempel di dinding ruang tengah sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Resi mengirim pesan singkat di WhatsApp-nya untuk Trimansyah.

Dia hanya memberi kabar bahwa jam sepuluh dirinya akan meluncur dari rumah ke kantor Trimansyah untuk menyerahkan naskah buku pesanannya.

Namun hingga setengah jam Resi belum menerima balasan dari Trimansyah. Dia coba meneleponnya. Trimansyah sulit dihubungi.

Dont worry be happy, Bah, everything is well.” Amirah mengelus-elus punggung suaminya. Dia selalu menenangkan hati.

Garis-garis di keningnya kian tegas ketika Resi mengerutkan dahi. “Kenapa ya?” gumamnya.

Jam sepuluh kurang semenit ponsel Resi berbunyi. Resi terperangah ketika melihat WhatsApp-nya. Dengan cekatan dia membuka balasan dari Trimansyah.

“Pak Resi, maaf, saya dan istri sedang isoman,” kata Trimansyah.

Resi menatap wajah Amirah. Matanya berkaca-kaca.

“Gagal,” lirihnya.

“Is there something wrong?” Amirah penasaran.

“Ya, dia isoman hingga empat belas hari ke depan. Ini berarti aku gagal memberikan hadiah kalung dan gelang kesehatan kepadamu di hari pernikahan kita,”

Resi memasang wajah kecewa. Amirah tetap tersenyum dan berusaha menenangkan hati Resi. ***

Sanggar Indah Banjaran, 2021

Berita Terkait

“Kasidah Cinta Hindun Binti ‘Utbah” Tampil di Gedung Rumentang Siang, Catat Tanggalnya!
Fikmin Sunda: Falling in Love
Yuk, Kita Nikmati Lukisan Karya Jeihan di Gey Art Gallery Braga
Fiksimini Sunda # Dironom Maung #
Perpaduan Sastra dan Keroncong di Panggung Taman Indonesia Kaya, Warnai Akhir Pekan Masyarakat Kota Semarang
Antologi Puisi “Bersyair di Andir”, Untaian Cinta dari Siswa SDN Andir Majalaya
Puisi Agus Dinar : Balada Lelaki Paruh Baya Mencari Cinta
Diskusi Sastra “Semesta Para Pengembara”, Puisinya Para Penyair Kabupaten Bandung
Berita ini 2 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Senin, 18 Maret 2024 - 17:17 WIB

“Kasidah Cinta Hindun Binti ‘Utbah” Tampil di Gedung Rumentang Siang, Catat Tanggalnya!

Minggu, 24 Desember 2023 - 12:37 WIB

Fikmin Sunda: Falling in Love

Senin, 20 November 2023 - 11:42 WIB

Yuk, Kita Nikmati Lukisan Karya Jeihan di Gey Art Gallery Braga

Senin, 18 September 2023 - 23:15 WIB

Fiksimini Sunda # Dironom Maung #

Senin, 11 September 2023 - 10:29 WIB

Perpaduan Sastra dan Keroncong di Panggung Taman Indonesia Kaya, Warnai Akhir Pekan Masyarakat Kota Semarang

Berita Terbaru