Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo adalah sosok yang dikenal namanya setelah sukses memimpin operasi penumpasan pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Berikut profil singkatnya.
DARA – Sarwo Edhi Wibowo lahir 25 Juli 1927 di Desa Pangenjuru, Purworejo dari keluarga bangsawan. Ibu bapaknya bernama Raden Kartowilogo dan Raden Ayu Sutini.
Meski terlahir dari keluarga bangsawan, namun orangtuanya tidak pernah mengajarkan perbedaan kedudukan dengan orang lain. Sarwo Edhi kecil pun bermain dengan anak-anak lain, salah satunya sempat belajar silat.
Singkat cerita, saat Sarwo Edhi tumbuh menjadi seorang remaja, tahun 1942, ketika Jepang menguasai Indonesia, Sarwo Edhie pergi ke Surabaya untuk mendaftarkan diri sebagai prajurit Pembela Tanah Air (PETA). Namun, saat itu ada kekecewaan di hatinya. Pasalnya, ia hanya diberi tugas sebagian besar hanya memotong rumput, membersihkan toilet, dan membuat tempat tidur bagi perwira Jepang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Sarwo Edhie bergabung dengan BKR, sebuah organisasi milisi yang akan menjadi cikal bakal ABRI (Tentara Nasional Indonesia saat ini) dan membentuk batalion. Namun, usaha itu gagal dan batalion bubar.
Teman satu kampung halamannya, Ahmad Yani yang mendorongnya untuk terus menjadi seorang tentara dan mengundangnya untuk bergabung dengan Batalion di Magelang, Jawa Tengah.
Menumpas Gerakan G30S
Pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal, termasuk Ahmad Yani diculik dari rumah mereka dan dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Sementara proses penculikan sedang dieksekusi, sekelompok pasukan tak dikenal menduduki Monumen Nasional (Monas), Istana Kepresidenan, Radio Republik Indonesia (RRI), dan gedung telekomunikasi.
Hari dimulai seperti biasanya bagi Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD yang sedang menghabiskan pagi mereka di markas RPKAD di Cijantung, Jakarta.
Kemudian Kolonel Herman Sarens Sudiro tiba. Sudiro mengumumkan bahwa ia membawa pesan dari markas Kostrad dan menginformasikan kepada Sarwo Edhie tentang situasi di Jakarta.
Sarwo Edhie juga diberitahu oleh Sudiro bahwa Mayor Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai Panglima Kostrad diasumsikan akan menjadi pimpinan Angkatan Darat.
Setelah memberikan banyak pemikirannya, Sarwo Edhie mengirim Sudiro kembali dengan pesan bahwa ia akan berpihak dengan Soeharto.
Setelah Sudiro pergi, Sarwo Edhie dikunjungi oleh Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa. Sabur meminta Sarwo Edhie untuk bergabung dengan Gerakan G30S. Sarwo Edhie mengatakan kepada Sabur dengan datar bahwa ia akan memihak Soeharto.
Pada pukul 11:00 siang hari itu, Sarwo Edhie tiba di markas Kostrad dan menerima perintah untuk merebut kembali gedung RRI dan telekomunikasi pada pukul 06:00 petang (batas waktu dimana pasukan tak dikenal diharapkan untuk menyerah).
Ketika pukul 06:00 petang tiba, Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya untuk merebut kembali bangunan yang ditunjuk. Hal ini dicapai tanpa banyak perlawanan, karena pasukan itu mundur ke Halim dan bangunan diambil alih pada pukul 06:30 petang.
Dengan situasi di Jakarta yang aman, mata Soeharto ternyata tertuju ke Pangkalan Udara Halim. Pangkalan Udara adalah tempat para Jenderal yang diculik dan dibawa ke basis Angkatan Udara yang telah mendapat dukungan dari gerakan G30S.
Soeharto kemudian memerintahkan Sarwo Edhie untuk merebut kembali Pangkalan Udara. Memulai serangan mereka pada pukul 2 dinihari pada 2 Oktober, Sarwo Edhie dan RPKAD mengambil alih Pangkalan Udara pada pukul 06:00 pagi.
Setelah mengambil alih Pangkalan Udara Halim, Sarwo Edhie bergabung dengan Soeharto karena keduanya dipanggil ke Bogor oleh Presiden Soekarno.
Soeharto diperingatkan oleh Soekarno karena mengabaikan perintahnya, Sarwo Edhie terkejut dengan ketidakpekaan Soekarno dengan kematian enam Jenderal.
Sarwo Edhi bertanya “Di mana para Jenderal?”, Soekarno menjawab “Bukankah ini hal yang normal dalam revolusi?”.
Pada tanggal 4 Oktober 1965, pasukan Sarwo Edhie memimpin penggalian dari mayat para jenderal dari sumur Lubang Buaya.
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Soeharto diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat oleh Soekarno. Lalu Sarwo Edhie diberi tugas melenyapkan anggota PKI di Jawa Tengah.
Kehidupan pribadi
Sarwo Edhie menikah dengan Sunarti Sri Hadiyah binti Danu Sunarto, mempunyai tujuh anak:
Wijiasih Cahyasasi,
Wrahasti Cendrawasih,
Kristiani Herrawati,
Mastuti Rahayu,
Pramono Edhie Wibowo,
Retno Cahyaningtyas
Hartanto Edhie Wibowo.
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden keenam Republik Indonesia, adalah menantunya yang menikah dengan Kristiani Herrawati.
Meninggal Dunia
Sarwo Edhie meninggal pada 9 November 1989 pada usia 64 tahun. Ia dimakamkan di daerah asalnya di tempat pemakaman keluarga Purworejo tepatnya di Kampung Ngupasan, Kelurahan Pangenjurutengah, Purworejo, Jawa Tengah.
Riwayat Jabatan
Komandan Batalion Divisi Diponegoro (1945-1951)
Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953)
Wakil Komandan Resimen AMN (1959-1961)
Wadan RPKAD (1962-1964)
Komandan RPKAD (1964-1967)
Pangdam II/Bukit Barisan (1967-1968)
Pangdam XVII/Tjenderawasih (1968-1970)
Gubernur AKABRI (1970-1974).
Demikian sekilas profil dan perjalanan karier seorang Sarwo Edhi Wibowo sebagaimana dikutip dara.co.id dari wikipedia, Kamis (30/9/2021).***
Editor: denkur | Sumber: Wikipedia