Dua pekan ini, masalah maraknya pinjaman online atau pinjol ilegal mengemuka. Pemerintah memberi perhatian penuh soal itu. Bahkan, Presiden Jokowi pun menginstruksikan agar masalah itu diperhatikan seirus.
Ditengah berkecamuknya pandemi, pinjol online memang marak di masyarakat. Bahkan, telah menuai banyak korban. Atas dasar itulah, pemerintah mulai melakukan berbagai upaya penertiban, bahkan dengan tegas menyatakan bahwa pinjol ilegal harus ditumpas agar tak meresahkan masyarakat.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun menginstruksikan kepada seluruh anggotanya untuk menindak tegas penyelenggara pinjol ilegal.
“Kejahatan Pinjol ilegal sangat merugikan masyarakat, sehingga diperlukan langkah penanganan khusus. Lakukan upaya pemberantasan dengan strategi preemtif, preventif maupun represif,” kata Sigit seperti dikutip dari Liputan6.com.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad juga meminta Polri dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menindak tegas penipuan pinjol ilegal yang sudah meresahkan masyarakat tersebut.
“Masalah pinjaman online ilegal adalah permasalahan krusial dan meresahkan masyarakat, ada yang terganggu secara psikis, Depresi, bahkan bunuh diri karena merasa tertekan. Oleh karenanya, saya meminta Polri dan OJK untuk menindak tegas serta memberantas maraknya penipuan pinjol ilegal tersebut,” kata Sufmi Dasco.
Bahkan, Mahfud MD lebih tegas lagi mengatakan punya utang ke pinjaman online (pinjol) ilegal nggak usah bayar, sebab pinjol ilegal tidak sah karena tidak memenuhi syarat objektif dan subjekti.
“Status pinjaman online ilegal ini diputuskan atau disepakati, dari sudut hukum perdata, pinjol ilegal itu adalah tidak sah karena tidak memenuhi syarat objektif maupun syarat subjektif seperti diatur dalam hukum perdata,” ujarnya.
“Kepada mereka yang sudah telanjur jadi korban, jangan membayar. Kalau karena tidak membayar lalu ada yang tidak terima, diteror, lapor ke kantor polisi terdekat. Polisi akan memberikan perlindungan,” imbuhnya.
Namun, Mahfud MD menekankan tindakan itu hanya berlaku untuk pinjol ilegal. Untuk pinjol yang legal, kata Mahfud, dipersilakan berkembang.
Keputusan terkait pinjol ilegal itu diambil dengan mempertimbangkan perspektif hukum perdata, pidana, KUHP Pidana, UU ITE, hingga UU Perlindungan Konsumen.
Sementara itu, pengamat industri financial technology peer to peer lending (fintech P2P lending) Tumbur Pardede mengatakan, meningkatnya kebutuhan pinjaman di kalangan masyarakat selama pandemi Covid-19, menjadi salah satu alasan utama masih adanya korban dari praktik pinjol ilegal.
Dengan adanya kebutuhan atas dana cepat, banyak masyarakat yang memilih fintech P2P lending sebagai solusi, sebab memiliki persyaratan pinjaman yang jauh lebih mudah dibanding industri keuangan lainnya.
Akan tetapi, masih ada masyarakat yang justru terjerumus ke dalam tawaran pinjol ilegal. Ini disebabkan banyaknya jumlah pinjol ilegal yang beredar.
“Mereka terjepit. Pinjam ke ilegal. Saya menilai mereka sulit untuk membandingkan, karena saking banyaknya,” kata Tumbur, seperti dikutip dari Kompas.com.
Bukan hanya pinjol ilegal, Tumbur menilai, jumlah fintech P2P lending resmi atau yang terdaftar dan berizin di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah terlalu banyak.
Menurutnya, hal tersebut membuat masyarakat sulit untuk membedakan pinjol ilegal dengan pinjol yang terdaftar. Oleh karenanya, Tumbur menilai OJK perlu merampingkan daftar penyelenggara fintech terdaftar maupun berizin, sehingga masyarakat dapat dengan mudah meningat nama penyelenggara pinjol resmi.
Himpitan ekonomi memang alasan yang mengemuka ketika masyarakat ditanya kenapa pinjam ke pinjol ilegal. Namun, kemudahan cara meminjam juga jadi faktor pendorong masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya melalui pinjol ilegal itu.
Jadi tampaknya, pemerintah juga harus mulai memikirkan bagaimana mengatasi himpitan ekonomi masyarakat dengan sistim pinjaman yang mudah tanpa berbagai syarat yang rumit.
Peningkatan ekonomi masyarakat tak bisa lagi sebatas digulirkannya program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui program yang selama ini digulirkan melalui pemerintahan desa yang pada akhirnya tak juga mampu meningkatkan tarap hidup masyarakat. Tapi lebih dari itu mencoba membuka sebuah lembaga kecil di tingkat desa yang khusus melayani masyarakat yang kepeped kebutuhan.
Faktanya, sebetulnya masyarakat tak hanya memiliki kegandrungan meminjam melalui pinjol, tapi ditataran masyarakat bawah yang buta teknologi banyak juga terjebak dengan pelayanan pinjaman berbau rentenir, dan hal ini juga belum menjadi perhatian masyarakat.
Pemberdayaan kembali lembaga koperasi tingkat desa, mungkin salah satu solusi yang bisa dilakukan pemerintah untuk menghindari kegandrungan masyarakat memenuhi kebutuhannya melalui pinjol atau pihak sejenis.
Pasalnya, jika pemerintah tidak memberi solusi ekonomi dan hanya sebatas memberantas pinjol ilegal, maka pinjol-pinjol lain atau bahkan lembaga sejenis akan tetap ada selama masyarakat membutuhkan alternatif penutup kebutuhan kesehariannya.***
Editor: denkur