Peran dan kontribusi UMKM mendominasi struktur unit usaha dimana 99,9% struktur usaha di Indonesia dan bekonstribusi terhadap 60,51% GDP serta menyerap 96,9% total lapangan pekerjaan di Indonesia.
DARA – Demikian disampaikan Eisha M Racbini, Ph.D – ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dalam acara bertajuk “Evaluasi Ekonomi Indonesia 2021 – Ekonom Milenial INDEF” yang dilaksanakan secara daring Rabu (8/12/2021).
“Dilihat dari struktur usaha UMKM terbesar berada di sektor Pertanian (50%), lalu Perdagangan dan logistic/komunikasi dan industri hanya sekitar 6-7 % saja. Jika dilihat dari sektor usaha masih didominasi oleh sektor Pedagangan (63,5%) namun dari sektor usaha menengah UMKM masih sangat kecil yakni hanya 0,9%,” Katanya.
Eisha juga menyoroti bahwa meskipun peran sektor usaha mikro dan menengah demikian besar terhadap struktur usaha, GDP maupun penyerapan tenaga kerja tetapi UMKM di Indonesia masih banyak sekali mengalami hambatan.
“Survei ADB menyebutkan UMKM Indonesia 75% mengalami hambatan di sektor keuangan terutama akses modal pada saat membuka dan menjalankan usahanya, serta dalam cicilan pembayaran,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Jumat (10/12/2021).
Pada saat puncak pandemi covid 19 sebanyak 53,7% usaha kecil menengah di Indonesia mengakui alami penurunan usaha sampai 50%, meski pada gelombang kedua yang mengalami penurunan usaha tinggal 41,5%. Tetapi 67,77% sektor usaha mikro dan kecil pada puncak serangan mengaku mengalami penurunan usaha yang signifikan.
Ia juga menyarankan UMKM Indonesia beradaptasi dengan pandemi, dengan lebih banyak menggunakan jasa ekonomi digital, juga harus naik kelas dan berpartisipasi dalam ekspor dan GVC (Global Value Change).
“Terbukti kemudian, UMKM yang menggunakan teknologi digital pada saat pandemic ternyata menerima pendapatan 1,14 kali lebih besar dibandingkan sebelum pandemi. Teknologi digital ini memang harus dimasuki oleh UMKM karena melihat potensi penduduk RI yang saat ini didominasi oleh usia produktif sebesar 191,08 juta penduduk,” kata Eisha.
Imaduddin Abdullah, Ph.D Candidate menyoroti sektor energi yang juga terpengaruh signifikan oleh pandemi.
“Sama seperti sektor-sektor lain dari pertumbuhan ekonomi suatu negara masa Covid-19. Begitu pula tinjauan stimulus fiskal terhadap sektor energi yang dialami sektor kelistrikan yang masih mampu bertahan dibanding sektor energi lainnya,” katanya.
Menurut Imaduddin sektor transportasi global sebagai sektor penting dari pergerakan ekonomi karena penggunaan energi bahan bakar masih terpukul.
“Ditandai dengan sektor penerbangan dunia yang pertumbuhannya masih masih jauh di bawah level sebelum pandemi. Demikian pula tingkat kemacetan yang menurun di berbagai negara. Akibatnya, permintaan terhadap energi di seluruh dunia menjadi terpukul, kecuali di China,” katanya.
Penurunan permintaan sektor energi kata Imaduddin, paling rendah di masa pandemi sejak perang dunia ke 2.
“Hal itu juga berdampak pada harga komoditas energi dunia yang mengalami penurunan paling rendah semasa pandemi. Uniknya setelah melewati masa buruk pandemi, indeks harga komoditas energi dunia pada 2021 melesat jauh ke angka 120 ketimbang sebelum pandemi yang hanya sekitar 80,“ katanya.
Hal itu terjadi karena adanya perbaikan ekonomi di sejumlah negara di mana demand terhadap energi mengalami peningkatan cukup signifikan. Meski supply terhadap energy di sejumlah negara masih tertahan karena protokol kesehatan.
“Ke depan, sektor energy masih mengalami tantangan besar terutama dari mutasi virus covid 19 ataupun dari keberadaan vaksinasi yang timpang di berbagai negara. Kemudian juga tantangan dari target energy nasional terutama pada bauran energi baru dan terbarukan (EBT) dari 10,5 % (2015) menjadi 23% pada 2025. Tak ketinggalan juga tantangan dari stimulus fiskal yang diberikan pemerintah Indonesia yang cukup besar terhadap sektor lain, tetapi hanya sedikit terhadap sektor energy khususnya EBT, “ ujar Imaduddin.
Riza Annisa Pujrama, M.Si. menyatakan bahwa mobilisasi penerimaan dapat berjalan dengan pembenahan sistem perpajakan. Berlakunya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), seperti naiknya pajak pertambahan nilai (PPN) akan turut meningkatkan rasio perpajakan.
“Tax ratio kita rendah dan trennya terus menurun. Berisiko atau tidaknya [lonjakan utang], menurut saya ada risiko, mengingat kemampuan pajak kita rendah,” kata Riza.
Editor: denkur