Angka perdagangan gelap trenggiling asli Indonesia masih tinggi. Sepanjang 10 tahun terakhir, 26.000 ekor trenggiling diselundupkan.
DARA – Satwa satu ini mempunyai bentuk permukaan kulit jauh dari kesan mulus. Mulai kepala sampai ke bagian ekor dan kuku tertutup oleh sisik keratin, materi dasar penyusun kulit, rambut, dan kuku pada manusia. Namanya trenggiling atau pangolin, mamalia bersisik satu-satunya dari famili Pholidota.
Ketika pandemi virus corona mulai marak pada awal April 2020, berdasarkan hasil penelitian South China Agricultural University (SCAU), satwa ini sempat dicurigai sebagai inang perantara dari kelelawar kepada manusia.
Terdapat delapan spesies trenggiling di seluruh dunia, di mana salah satunya yaitu Manis javanica. Sebagaimana namanya, spesies ini tentu saja dapat ditemui di hutan-hutan Pulau Jawa dan Kalimantan, Sumatra, serta sebagian Nusa Tenggara.
Selain itu, “Si Manis dari Jawa” ini juga dapat ditemui di hutan-hutan tropis Asia Tenggara, seperti di Filipina, Laos, Kamboja, Thailand, Myanmar, Vietnam, dan Malaysia. Trenggiling juga dapat ditemukan di perkebunan rakyat, kadang di perkebunan sawit, hutan sekunder, dan primer, serta umumnya dekat aliran air.
Trenggiling tidak memiliki gigi, hanya mengandalkan moncong serta lidah yang lengket dan panjang untuk mencari makanan seperti serangga kecil, semut dan telurnya, rayap, dan larva. Cakarnya yang tajam dan kuat ia gunakan untuk mengoyak batang pohon untuk mencari sumber makanan. Seperti halnya pada sebagian burung, trenggiling juga sengaja memakan batu-batu kecil untuk membantu menghancurkan makanan di dalam perutnya.
Peneliti pada Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wirdateti menyebutkan, trenggiling dewasa memiliki berat tubuh hingga 12 kilogram (kg), meski rata-rata beratnya berkisar 8-10 kg. Trenggiling jantan berukuran tubuh lebih besar dari betinanya.
Satwa ini sungguh unik karena mampu menggulung tubuhnya mirip seperti bola dan ini mereka lakukan ketika merasa terancam, terdesak, atau sedang diintai oleh predatornya, yaitu jenis kucing besar seperti macan, harimau, atau singa.
Dalam kondisi terdesak dan tak sempat menggulung diri, seekor trenggiling akan berjuang sekuat tenaga melawan musuhnya dengan mencakar lawan atau mengibaskan ekor besarnya sekuat tenaga. Ekor besarnya yang kuat kerap digunakan untuk menggelayut pada dahan pohon.
Sebagai satwa yang aktif berburu di malam hari atau nocturnal, trenggiling memilih tidur di sepanjang hari di lubang-lubang dalam tanah. Trenggiling membuat sarang dalam tanah dengan menggali lubang hingga membentuk terowongan. Panjang galian dapat mencapai 8 meter dan memiliki percabangan yang berliku-liku sebagai strategi untuk mengelabui mangsa apabila terdesak.
Profesor Gono Semiadi, pakar biologi LIPI mengatakan, masa kehamilan trenggiling betina sekitar 90-139 hari, dengan masa sapih sekitar empat bulan dan mencapai usia dewasa sekitar dua tahun.
“Trenggiling terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu yang hidup dominan secara terestrial (di permukaan tanah) dan lainnya dominan arboreal (bergerak di atas pohon). Trenggiling jantan cenderung bersifat soliter (sendiri) dan aktif mencari betina saat musim kawin tiba,” kata Gono.
Terancam Punah
Harimau dan macan dari keluarga kucing besar adalah predator bagi trenggiling. Tetapi ancaman paling besar bagi satwa sisik ini adalah manusia. Meski populasi trenggiling di alam liar belum terdata, trenggiling merupakan mamalia yang paling banyak diburu.
Sepanjang 10 tahun terakhir saja, berdasarkan data Wildlife Conservation Society (WCS) sebanyak 26.000 ekor trenggiling asal Indonesia diselundupkan ke Tiongkok.
Berbagai cara dilakukan oleh para pemburu untuk mendapatkan trenggiling, mulai dari memakai jasa anjing pemburu terlatih hingga memasang jerat.
Sisik trenggiling menjadi incaran para pemburu karena bernilai jual sangat tinggi, dihargai hingga USD5 per keping sisik trenggiling. Untuk mendapatkan 1 kilogram sisik, dibutuhkan 4 ekor trenggiling dewasa. Sisiknya menjadi bahan baku obat kanker, obat bius, dan bahan baku narkoba di Negeri Panda. Daging trenggiling dipercaya mengandung protein tinggi dan bisa dijadikan obat sakit perut.
Padahal trenggiling termasuk satwa dilindungi berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 106 tahun 2018. Sanksi hukuman bagi para pemburu satwa dilindungi pun tidak ringan karena diancam hukuman 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta.
Sedangkan di dalam Konvensi Perdagangan Internasional Satwa Dilindungi atau CITES, trenggiling sudah dimasukkan ke dalam kategori Appendix 1. Artinya, trenggiling tidak boleh diperjualbelikan melalui pengambilan di alam secara langsung.
Lembaga konservasi dunia, International Union for Conservation of Nature (IUCN) bahkan telah menetapkan status hewan itu dalam kategori kritis (critically endangered/CR), atau selangkah menuju kepunahan di alam liar.
Seiring dengan itu semua, pemerintah pun saat ini sedang menyusun strategi rencana konservasi bagi trenggiling. Ini dilakukan untuk menyelamatkan si manis dari kepunahannya.
Artikel ini sebelumnya sudah ditayangkan di Indonesia.go.id dengan judul: Si Manis di Ambang Kepunahan, yang ditulis Anton Setiawan.
Editor: denkur