Bila warga Surabaya punya kisah heroik 10 November 1945, masyarakat Bandung pun memiliki cerita kepahlawanan saat perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dengan Bandung Lautan Api.
Tepat pada 24 Maret 1946 atau 71 tahun silam, sekitar 200 ribu warga bersama para Tentara Republik Indonesia (kini TNI) dan laskar rakyat membakar rumah dan harta benda mereka.
Dengan strategi bumi hangus, mereka meninggalkan bagian utara Bandung menuju wilayah selatan. Mereka tak rela kota tercinta diduduki tentara Sekutu di bawah komando Inggris.
Sehari sebelumnya, tentara Inggris mengeluarkan ultimatum menuntut TRI mengosongkan seluruh Kota Bandung dan mundur sejauh 11 kilometer dari pusat kota paling lambat tengah malam 24 Maret 1946.
Ketika itu, seperti dikisahkan dalam dua buku yang ditulis Abdul Haris Nasution, yakni “Sekitar Perang Kemerdekaan” (Jilid 1, 1977) dan “Memenuhi Panggilan Tugas” (Jilid 1, 1982), Kolonel AH Nasution selaku Komandan Divisi III memerintahkan untuk meninggalkan Kota Bandung. Penduduk kota berjuluk Paris van Java itu pun bersama sekitar 20 ribu pejuang berduyun-duyun menuju pegunungan di bagian selatan.
Seiring dengan pengungsian tersebut, aksi bakar kota dilangsungkan hanya dalam tempo sekitar tujuh jam. Berawal dengan pembakaran Indisch Restaurant di utara Alun-alun Bandung pada pukul 21.00 WIB. Selanjutnya, rakyat dan para pejuang membakar bangunan-bangunan penting mulai dari Ujungberung hingga wilayah Cimahi.
Banyak rumah penduduk ditinggalkan dan dibakar hingga menimbulkan gelombang besar api yang berkobar-kobar. Menjelang tengah malam, Bandung telah kosong dan menjadi puing-puing.
Bandung Lautan Api. Gambaran kisah heroik itu pun diabadikan dalam lagu “Halo-Halo Bandung” yang disebut-sebut ciptaan Ismail Marzuki.
Namun sejatinya, sebutan Bandung Lautan Api muncul pertama kali pada terbitan Koran Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Saat terjadi aksi bumi hangus Kota Bandung, seorang wartawan bernama Atje Bastaman menyaksikan dari bukit Gunung Leutik, sekitar Pameungpeuk, Garut.
Disebutkan pula, dari puncak itulah Atje melihat Bandung memerah mulai dari Cicadas hingga ke Cimindi. Karena itu, begitu ia tiba di Tasikmalaya, Atje dengan penuh semangat segera menuliskan berita tentang peristiwa ini dan memberinya judul “Bandoeng Djadi Laoetan Api”.
Namun, kurangnya ruang untuk tulisan judulnya membuat ia harus membuat judulnya jadi lebih pendek, yakni menjadi “Bandoeng Laoetan Api”.***
Editor: Denkur
Tulisan ini pernah ditayangkan oleh liputan6