Pengolahan sampah menjadi bahan bakar merupakan sebuah inovasi baru di KBB. Padahal, sumber bahan bakar tersebut sudah cukup populer di Klungkungan Bali.
DARA- Inovasi yang dilakukan salah seorang warga Kampung Kandang Sapi RT04/RW01, Desa Bongas, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat (KBB) mengatasi persoalan sampah, patut diancungi jempol.
Hanya memanfaatkan sampah dan limbah, bisa mengubah menjadi sebuah sumber energi yang berdaya guna buat kehidupan sehari-hari.
Adalah Nano Sukarno, nama warga Bongas ini, mengubah sampah dan limbah jadi Biomas. Seperti diketahui, Biomas, merupakan bahan bakar dengan bahan dasar dari sampah atau limbah.
Nano, bisa menciptakan Biomas tersebut diantaranya dari bahan dasar seperti bekas pembalut wanita, pempres atau diapers yang disebut briket sampah.
“Ada juga yang terbuat dari batok kelapa dan arang biasa dari kayu,” ujarnya, seraya menunjukan contoh Biomas yang dibawanya, Kamis (4/2/2022).
Menurutnya, permasalahan energi di KBB sebenarnya masih sangat kompleks. Salah satunya berkaitan dengan gas elpiji sebagai bahan bakar utama penunjang kehidupan masyarakat.
Sementara kondisi riil di lapangan, perekonomian masyarakat diantaranya masih terbatas. Daya beli masyarakat, masih membutuhkan subsidi dari pemerintah, terutama menyangkut sumber energi tersebut.
“Mahalnya harga gas ditambah dengan kelangkaan gas menjadi beban bagi masyarakat setempat,” jelasnya.
Selain itu, urusan persampahan menjadi permasalahan yang tak kunjung usai. Pemerintah masih berupaya mencari solusi yang tepat agar persoalan sampah bisa teratasi.
Di Kabupaten Bandung Barat (KBB) misalnya, hingga akhir tahun 2021 tercatat tempat pembuangan akhir (TPA) Sarimukti di Kecamatan Cipatat. Setiap harinya TPA itu, menerima kiriman sampai mencapai 150 ton dari 10 kecamatan di KBB.
Berangkat dari berbagai persoalan itulah, Nano mencoba berinovasi mengubah sampah menjadi Biomas. Dan hal itu dilakukan, sejak 2015. Namun ia lebih konsen terhadap inovasi tersebut pada tahun 2019.
Pengolahan sampah menjadi bahan bakar merupakan sebuah inovasi baru di KBB. Padahal, sumber bahan bakar tersebut sudah cukup populer di Klungkungan Bali.
Bahkan Biomas yang ia racik tersebut, mulai dilirik para investor luar negeri seperti Norwegia, Kamboja dan Brazil.
“Tapi sayang, Pemda KBB belum melirik potensi dari inovasi ini,” ungkapnya.
Ia berharap, kehadiran Biomas ini menjadi salah satu solusi bagi masyarakat KBB dalam mengatasi masih minimnya sumber energi bahan bakar.
Ia bersama Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kreatif Petani Peternakan Perikanan, akan melakukan uji coba di daerah Bongas, Kecamatan Cililin untuk pembuatan Biomas ini. Hanya hingga saat ini, pihaknya masih kesulitan dengan peralatannya.
Adapun teknik yang digunakan untuk membuat briket sampah ini dengan metode peuyeumisasi dan alatnya yang disebut bioaktivator. Kendati demikian, sebelumnya sampah tersebut dicacah kasar hingga halus.
“Sampah kemudian dimixer dan ditambah zat perekat, seperti tepung kanji dan ditambahkan bakteri khusus untuk selanjutnya dibentuk,” terangnya.
Hasil uji coba sebelumnya, ternyata bahan bakar Biomas cukup diminati masyarakat. Terutama para peternak ayam, sebagai pengganti penghangat ruangan bagi ternaknya.
Ia biasa menjual wood pelet seharga Rp 2.000-Rp 2.500/ kg, briket sampah Rp 1.500- Rp 2.000/ kg, arang batok Rp 6.000-Rp 7.000/ kg.
Selain memproduk bahan bakar, ia juga membuat inovasi kompor guna melengkapi produk bahan bakar Biomas. Meski harganya sedikit lebih mahal, namun memiliki kelebihan dengan sentuhan teknologi elektrik.
“Kompor juga sama terbuat dari sampah dan dijual dikisaran harga Rp 600 hingga Rp 800 ribu,” ungkapnya.
Editor : Maji