Pemuda harus secara aktif mendorong komitmen kelestarian lingkungan dalam agenda G20 Leaders Summit yang akan dilaksanakan 20 November 2022 mendatang di Bali.
DARA – Hal ini disampaikan Mohammad Syaban, Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina pada webinar bertajuk “Politik Hijau Indonesia: COP 26 dan Presidensi G20” yang digelar secara daring di Jakarta , Rabu (9/2/2022).
“Meneruskan hasil dari COP-26 di Glasgow, Indonesia menjadikan transisi energi bersih sebagai isu prioritas dalam pembahasan G20 sebagai upaya menekan laju kenaikan suhu bumi. Walaupun dalam temuan studi, pemuda masih menjadi ‘penyemangat dan penghibur’ dalam setiap kebijakan terkait lingkungan di Indonesia,” kata Syaban.
Isu lingkungan dan perubahan iklim lanjut Syaban, merupakan aspek yang paling digandrungi dan paling dekat dengan pemuda.
“Riset dari Pew Research Center menyatakan bahwa Gen Z menjadi generasi yang paling aktif dalam menyuarakan kedaruratan iklim dan memiliki perhatian yang besar dibanding dengan generasi lain di atasnya, sehingga peran pemuda masih harus didorong dalam komitmen pengurangan emisi karbon di Indonesia dari berbagai forum multilateral,” ujarnya.
“Terlepas dari komitmen internasional atau Pemerintah Indonesia untuk mengarusutamakan kebijakan yang berbasis lingkungan sudah sangat terdengar, tapi kebijakan publik tidak akan terimplementasi dengan baik tanpa adanya kelompok yang mendesak dan memaksa. Peran pemuda Indonesia sangat krusial untuk mengambil bagian ini,” imbuhnya.
Dalam sambutannya, Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini, MSc, Ph.D, mengatakan transisi energi bersih menjadi sangat dilematis bagi Indonesia.
“Berdasarkan data BPS terbaru, pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,02 persen di kuartal IV-2021 salah satunya berkat harga komoditas batu bara yang tinggi dan nantinya komitmen untuk phasing out batubara harus secara serius di kawal. Pemuda, harus terus mendengungkan isu ini hingga sampai pada tingkat aksi dan pemenuhan komitmen negara,” ujarnya.
Ananda Muhammad Akbar, mahasiswa HI Universitas Paramadina dan salah satu delegasi pemuda untuk COP 26 di Glasgow, menekankan bahwa pakta iklim Glasgow sudah memberikan ruang bagi pemuda untuk berperan aktif dalam aksi melawan krisis iklim.
“Namun, tantangan utamanya adalah bagaimana membuat peran aktif tersebut tidak hanya sebagai aksesori dari agenda pemangku kepentingan lain. Generasi muda punya peran yang lebih luas, meliputi tahap perencanaan, penyusunan, implementasi dan evaluasi. Hal ini karena generasi pemuda termasuk dalam stakeholders yang bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan,” kata Akbar.
Dalam gelaran COP 26, Nanda menyatakan sudah banyak yang bisa dilakukan oleh pemuda di berbagai tingkatan dan sektor untuk membawa isu pengurangan emisi karbon menjadi lebih membumi dan diterima masyarakat.
Pada kesempatan yang sama Gracia Paramitha, Dosen LSPR yang juga pengamat G20 menyayangkan bahwa keterlibatan pemuda dalam komitmen pengurangan emisi karbon baik di tingkat global dan Indonesia seperti masih berada di level ‘penyemangat’ dan formalitas saja. Mereka tidak terlibat untuk dapat mempengaruhi kebijakan di bidang lingkungan.
“Saat ini sudah makin banyak literatur dan publikasi ilmiah yang diterbitkan membahas tentang keterlibatan pemuda dalam isu iklim dan politik hijau, dan konsep ekonomi hijau. Hanya saja, peran yang bisa dilakukan oleh pemuda di berbagai forum lingkungan global masih bersifat dekorasi tanpa ada kontribusi lebih dan menjadi preferensi bagi pembuat kebijakan,” kritik Gracia.
“Hal ini mungkin disebabkan karena kapasitas pemuda yang masih belum dapat dipercaya para pengambil kebijakan atau para pemuda tersebut sudah terlibat dalam kepentingan politik praktis, sehingga menggusur idealisme lingkungan mereka untuk ditukar dengan kepentingan politik,” kata Gracia.
Editor: denkur