Sahabat saya yang wartawan itu dinyatakan positif terpapar covid. Beruntung ia dibolehkan menjalani isolasi mandiri di rumahnya, tidak harus mendekam di ruang isolasi umum yang disediakan satgas covid.
Suami dan dua anaknya pun diungsikan ke rumah mertua. Tinggalah ia sendiri meniti keseharian dengan keheningan. Beruntung pula ia tidak kekurangan makanan. Ia beli makanan melalui melalui gofood, tapi juga didapat dari tetangganya yang rutin memberi makanan meski harus dengan cara yang tak lajim, yakni menggantungkannya di pagar tralis rumahnya.
Hari pertama dan kedua biasa-biasa saja. Ia masih asyik menikmati harinya dengan segala aktifitas rutinnya di rumah. Namun, menginjak hari ketiga kegelisahan mulai merasuki jiwanya. Jiwa seorang wartawan yang tak bisa terkungkung oleh keterbatasan dirinya untuk terus berkarya melihat sebuah peristiwa lalu memberitakannya.
Ia gelisah karena sudah dua hari tak menulis berita. Redaksi memang mentolerir jika ia tak mengirim berita. Tapi, menurutnya toleransi itu adalah sebuah permakluman yang tak harus ia lakukan, sebab baginya dalam kondisi apapun dan dimana pun pikiran wartawan adalah kata-kata dalam berita.
Menulis berita adalah dirinya dan tanpa menulis berita wartawan laksana seorang petualang yang tersesat di gurun pasir. Hampa, kosong dan bingung. Bagi sahabat saya itu, jika wartawan merasa nyaman-nyaman saja meski tak menulis berita, maka ia belum menemukan siapa dirinya dan mau kemana ia berjalan.
Lalu, ditengah keheningan dan kesendirian di rumahnya, ia pun tiba-tiba teringat kata-kata Presiden Jokowi saat memperingati Hari Pers Nasional, tempo hari. “Meski berada dalam situasi pandemi, insan pers tetap bekerja menyampaikan informasi, meningkatkan literasi, membangun optimisme, dan menumbuhkan harapan, sehingga masyarakat tetap tangguh menghadapi dampak pandemi Covid-19.”
Ingat itu, ia pun bangkit dari duduknya. Semangatnya tiba-tiba membara bahwa meski ia sedang isoman dan tak bisa keluar rumah mencari bahan berita, tapi ia harus tetap menulis berita. Ia pun mencoba menghubungi sejumlah pejabat atau siapa saja yang bisa menjadi nara sumber kemudian melakukan wawancara, jadilah berita. Mentok-mentoknya ia menghubungi beberapa teman wartawan lain untuk minta bantuan sekadar mengirim bahan berita. Kegelisan soal itupun selesai, terpecahkan.
Tapi kemudian muncul kegelisahan lain tentang nasib dirinya, tentang ketangguhan profesinya dan tentang kekokohan medianya yang kini sedang dihantam badai besar yang dalam waktunya nanti entah apa yang akan terjadi. Benarkah media cetak dan media online akhirnya akan tumbang kalah bersaing?
Pak Jokowi menyebut selama dua tahun lebih industri pers nasional mengalami tekanan luar biasa berat. Selain harus mengatasi tekanan akibat pandemi, juga menghadapi tekanan akibat disrupsi digital dan tekanan dari berbagai platform raksasa asing yang menggerus potensi ekonomi dan pengaruh media-media arus utama.
Itu kegelisahan kedua yang tertulis di ruang isoman. Ia mengiyakan apa yang dituturkan sang presiden, bahwa memang munculnya sumber-sumber informasi alternatif, tumbuh suburnya tren informasi yang semata mengejar jumlah klik atau views, membanjirinya konten-konten yang hanya mengejar viral, mengakibatkan media-media online dan apalagi media cetak harus secepatnya bertransformasi, berinovatif, dan meningkatkan teknologi untuk mengakselerasi pertumbuhan yang sehat.
Pers Indonesia harus mampu memperbaiki kelemahan sambil melanjutkan agenda-agenda besar bangsa, menguatkan pijakan untuk melompat lebih tinggi dan mampu berselancar di tengah-tengah perubahan, mempercepat transformasi digital untuk menghasilkan karya-karya jurnalistik berkualitas, lebih cepat dan tetap akurat, dan tidak terjebak pada sikap pragmatis yang menggerus integritas kita.
Lebih jauh, presiden mengatakan, ekosistem industri pers harus terus ditata. Iklim kompetisi yang lebih seimbang harus terus diciptakan, perusahaan platform asing harus ditata dan diatur agar makin baik tata kelolanya, serta aturan bagi hasil yang adil dan seimbang antara platform global dan lokal harus diperkuat.
Kenapa sahabat saya menggelisahkan persoalan itu, sebab ia menyadari fenomena sebagaimana dipaparkan Pak Presiden itu benar adanya dan sudah sangat terasa hembusannya. Bagaimana seorang wartawan harus memeras keringatnya untuk bersaing dengan konten-konten berita yang bertebaran dijagat medsos. Ada Youtube, Tiktok, Twitter, Instagram dan platform lain yang begitu intens menyajikan beragam tontonan yang menarik minat masyarakat.
Sejumlah akun media sosial itu tak hanya menyuguhkan tontonan berjenis hiburan semata, tapi juga berita-berita yang dirasakan masyarakat lebih mengasyikan karena diringi dengan tayangan video. Kecenderungan masyarakat lebih berhasrat melihat berita di medsos pun semakin meningkat akhir-akhir ini dan itu diprediksi akan terus berkembang.
Hebatnya lagi, portal-portal berita mainstream pun berlomba-lomba untuk mengembangkan sayapnya dengan berselancar di jagat medsos. Mereka menyuguhkan format-format berita di youtube, instagram bahkan TikTok, dan itu sangat antusias diterima masyarakat.
Sisi lain, sejumlah orang secara pribadi mulai dari pejabat, pengamat hingga masyarakat biasa ramai-ramai membuat akun di medsos dengan beragam bentuknya, diantaranya membuat akun Youtube. Artinya, saat ini siapapun bisa menginformasikan sebuah peristiwa yang terjadi dan fenomena itu mampu mengalihkan perhatian masyarakat terhadap kehadiran media online dan media cetak.
Masyarakat kekinian sudah memiliki kecenderungan untuk lebih berminat mencari berita di akun medsos ketimbang menyusurinya di portal berita. Atas kondisi itu perang strategi pun terjadi diantara media-media mainstream, terutama berlomba menyuguhkan jumlah konten berita sebanyak-banyaknya.
Kecepatan penyajian berita pun menjadi jurus untuk berlari kencang agar tampil lebih dulu atau tak ketinggalan langkah. Pasalnya, ternyata berita yang disajikan oleh akun medsos bisa lebih cepat ketimbang media online dan cetak. Akibatnya masyarakat merasa terpuaskan dan seolah tak butuh lagi dengan berita-berita yang disajikan media online, apalagi media cetak yang terbit keesokan harinya.
Apa yang harus dilakukan?
Manuel Castell, salah seorang teoritisi masyarakat jaringan, sejak tahun 1990-an telah mengingatkan tentang resiko dari perkembangan penggunaan teknologi informasi yang makin meluas di masyarakat.
Castell (1996-1998) dalam trilogi bukunya yang terkenal, The Information Age: Economi, Society and Culture, telah menulis bahwa perubahan sosial yang berlangsung dewasa ini bukan lagi sekadar dipicu kekuatan modal kapitalisme, melainkan juga ditandai makin dominannya peran pengetahuan dan revolusi teknologi informasi
yang kemudian melahirkan kapitalisme informasi dan masyarakat informasi.
Melalui media sosial seperti Youtube, Twitter, Facebook, Instagram, Linkedin, Path, dan sebagainya kemudahan untuk saling berkomunikasi, berhubungan sosial menjadi lebih mudah dan memperoleh informasi serta membangun jaringan sosial perkawanan dan persahabatan menjadi sangat mudah diakses. (kominfo)
Setidaknya ada dua solusi yang harus disiapkan agar media online dan cetak tak kalah bersaing dengan akun-akun media sosial yang kini semakin beringas ditengah kehidupan masyarakat. Dua soslusi ini sebetulnya sudah disadari oleh pemilik media, namun terkadang mengabaikannya dengan alasan keterbatasan sumber daya manusia terkait penguasaan tekonologi.
Solusi pertama adalah ikut serta berselancar di jagat medsos dengan mengembangkan akun tambahannya, seperti bikin akun Youtube dan Instagram, sebagaimana yang sudah dilakukan oleh sejumlah media mainstream saat ini.
Bagi media yang tidak memiliki kemampuan melakukan terobosan seperti itu hidupnya akan begitu-begitu saja, kering pembaca sepi iklan, lalu mati tinggal bekas.
Solusi kedua, adalah tentu saja sumber daya manusia, mulai dari jajaran redaksi, juru IT hingga wartawan. Semuanya harus bersatu padu dan bersemangat untuk menambah pengetahuannya tentang teknologi. Pemikiran-pemikiran konvensional tentang bagaimana kita memperlakukan industri media tampaknya harus sudah ditinggalkan, tergantikan dengan pemahaman media berbasis teknologi.
Wartawan kekinian tak cukup dengan menulis berita apa adanya atau asal ada, tapi harus berpikiran bagaimana berita yang ia tulis bisa menjadi berita yang viral. Bagaimana pula jajaran redaksi mampu membaca kegandrungan pembaca terhadap sebuah berita dan memudahkan masyarakat membaca berita itu. Pasalnya, saat ini masyarakat dengan sangat mudah membaca berita di handphone ketimbang harus membeli koran. Atas dasar itu jajaran redaksi harus menciptakan sebuah gagasan penulisan berita baik dari judul berita maupun tubuh berita yang menarik untuk dibaca dan berada di tingkat atas google pencarian.
Intinya banyak hal yang perlu didiskusikan dan dirumuskan agar media online dan cetak tetap tangguh ditengah gempuran media sosial. Perekrutan wartawan secara konvensional tampaknya harus sudah diakhiri. Menjadi wartawan yang menguasai teknologi, itu jadi sebuah keharusan, dan hal itulah yang menggelisahkan sahabat saya yang sedang terduduk di balik ruang isoman itu.***
Editor: denkur