Dalam kitab Shifah al-Shafwah, Imam Abu al-Farj Abdurrahman Ibnu al-Jauzi mencatat sebuah riwayat tentang burung merpati Imam Abdullah bin Mubarak yang kawin dengan merpati lain.
Berikut riwayatnya:
قال الحسن: ورأيت في منزل ابن المبارك حماماً طيارة. فقال ابن المبارك: قد كنا ننتفع بفراخ هذه الحمام فليس ننتفع بها اليوم قلت: ولم ذلك؟ قال: اختلطت بها حمام غيرها فتزاوجت بها فنحن نكره أن ننتفع بشيء من فراخها من أجل ذلك
Al-Hasan berkata: “Aku melihat di tempat tinggal Ibnu Mubarak burung merpati yang berterbangan.”
Kemudian Ibnu al-Mubarak berkata: “Sesungguhnya (dulu) kami bisa mendapat manfaat dari keturunan (anak-anak atau telur) merpati itu, tapi sekarang (atau hari ini) tidak lagi.”
Aku berkata: “Kenapa begitu?”
Ibnu al-Mubarak berujar: “Burung merpati itu telah bercampur dengan merpati lainnya, kemudian kawin dengannya. Karena itu, kami tidak (lagi) suka mengambil keuntungan dari keturunannya (anak-anak atau telurnya).” (Imam Abu al-Farj Abdurrahman ibnu al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, hlm. 324)
Setiap kisah membawa hikmahnya sendiri-sendiri, tidak terkecuali kisah di atas, yang jika kita amati mengandung hikmah yang besar. Untuk lebih mendalami salah satu hikmahnya, mari kita uraikan bersama.
Dalam kisah di atas, salah satu yang perlu kita kagumi adalah jawaban Imam Abdullah bin Mubarak saat ditanya, “kenapa begitu?” Sebab, bagi siapa pun orangnya, akan terasa aneh jika seorang pemilik peliharaan, tidak bisa lagi mengambil manfaat dari peliharaannya itu meski secara lahir ia halal, seperti burung merpati, kambing, ayam dan lain sebagainya.
Lalu Imam Abdullah bin Mubarak menjawab, “Burung merpati itu telah bercampur dengan merpati lainnya, kemudian kawin dengannya. Karena itu, kami tidak (lagi) suka mengambil keuntungan dari keturunannya (anak-anak atau telurnya).”
Jawaban tersebut menunjukkan kehati-hatian Imam Abdullah bin Mubarak dalam memakan sesuatu. Ia perlu memastikan terlebih dahulu muasal dari makanannya, apalagi jika itu berada di bawah kekuasaannya. Dalam hal ini burung merpati peliharaannya. Dulu, sebelum burung itu kawin dengan burung merpati lain, yang tidak diketahui milik siapa, Abdullah bin Mubarak dan keluarganya biasa mengambil manfaat darinya, baik itu anak-anaknya yang sudah besar maupun telurnya.
Namun, setelah burung itu kawin dengan burung orang lain, Imam Abdullah bin Mubarak tidak pernah lagi mengambil manfaat darinya. Ia menjaga dirinya dan keluarganya dari makanan yang—baginya—syubhat. Karena dalam tubuh burung tersebut, terdapat unsur lain yang tidak dimilikinya dan tidak diketahui pemiliknya untuk dimintai izin, sehingga, dalam pandangannya, telur atau burung yang menetas dari hasil hubungan itu menjadi kurang baik jika dijual atau dimakan olehnya dan keluarganya.
Merujuk pada ajaran Imam Ibrahim bin Adham (w. 162 H), maka perbuatan Imam Abdullah bin Mubarak termasuk zuhud. Imam Ibrahim bin Adham berkata:
الزهد ثلاثة أصناف، فزهد فرض، وزهد فضل، وزهد سلامة. فالزهد الفرض: الزهد في الحرام. والزهد الفضل: الزهد في الحلال. والزهد السلامة: الزهد في الشبهات
“Ada tiga kategori zuhud, yaitu zuhud fardl (zuhud yang wajib), zuhud fadl (zuhud yang utama), dan zuhud salamah (zuhud yang selamat/aman). Zuhud fardlu adalah zuhud dalam (meninggalkan hal-hal) yang haram. Zuhud fadlu adalah zuhud dalam (mengamalkan/menikmati hal-hal) yang halal. Dan, zuhud salamah adalah zuhud dalam (menghindari hal-hal) yang syubhat.” (al-Imam al-Hafidz Abu al-Hajjaj Jamaluddin Yusuf bin ‘Abdurrahman al-Mazi, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’i al-Rijâl, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2018, juz 1, hlm. 219)
Jadi, pantas saja jika Imam Abdullah bin Mubarak memegang teguh hal itu. Ia enggan menyantap atau menikmati sesuatu yang samar (syubhat), demi kebaikan dirinya dan keluarganya. Meski demikian, jangan kira Imam Abdullah bin Mubarak orang yang miskin, tidak sama sekali. Ia sangat kaya raya. Imam al-Dzahabi mengatakan, “kâna ‘abdullah ‘ghâniyyan syâkiran” (Abdullah bin Mubarak adalah orang kaya yang bersyukur). (Imam Syamsuddin al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1982, juz 8, hlm. 409)
Ia mensyukuri kekayaannya dengan banyak membantu orang dan fakir miskin. Dalam catatan al-Dzahabi, ia menafkahkan atau menyedekahkan hartanya setiap tahun sampai 100.000 dirham. Imam al-Dzahabi menulis:
وكان ينفق على الفقراء في كلّ سنة مئة ألف درهم
“Abdullah bin Mubarak menafkahkan (hartanya) untuk orang-orang yang membutuhkan (fuqara’) setiap tahun seratus ribu dirham.” (Imam Syamsuddin al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 8, hlm. 386)
Ini berarti, berlaku zuhud tidak melulu menjadikan seseorang miskin. Imam Abdullah bin Mubarak adalah salah satu buktinya. Zuhud yang ia amalkan tidak membuatnya miskin, atau membuatnya menyengaja hidup miskin. Ia tetap berdagang, berusaha dan berbisnis. Tentu saja dengan kehati-hatian yang sama dengan keengganannya mengambil keuntungan dari hasil burung peliharaannya. Dengan kata lain, jika dengan barang yang sudah menjadi miliknya saja ia berhati-hati, apalagi berdagang yang melibatkan barang milik orang lain.
Pertanyaannya, kapankah kita bisa seperti itu?
Wallahu a’lam bish-shawwab…
Artikel ini ditulis Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen dan sebelumnya sudah tayang di laman resmi NUOnline.
Editor: denkur