Gaji perempuan di seluruh dunia lebih rendah dibanding laki-laki meski kinerjanya bagus. Apa alasannya, begini kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
DARA – Sri Mulyani mengatakan atasan biasanya hanya memberi apresiasi lewat kata-kata jika perempuan melakukan pekerjaan yang hasilnya bagus. Dari sisi gaji, tetap saja nilainya lebih kecil dibanding laki-laki.
“Perempuan itu kalau melakukan sesuatu dan menghasilkan (yang) bagus itu apresiasinya oh how cute, how cute, tapi dibayarnya 30% lebih rendah dari laki-laki,” kata Sri Mulyani di webinar ‘Perempuan Tangguh dalam Ekspor Berkelanjutan’, seperti dikutip dara.co.id dari detikcom, Jumat (20/5/2022).
Sri Mulyani menuturkan, kalau perempuan melakukan sesuatu karena gendernya, dia dianggap itu suatu pekerjaan yang cute, specially, dia caring ya udah dikasih seadanya. Kalau laki-laki langsung dihitung cost, margin, berapa dana dia mendapat profit, maka dia dikasih bonus gaji whatever, yang jelas pasti lebih tinggi. Kalau perempuan langsung didiskon.
Sri Mulyani menjelaskan gaji perempuan lebih kecil dibanding laki-laki karena bekerja dianggap hanya sebagai profesi sampingan dari ibu rumah tangga. Pandangan seperti ini merupakan salah satu tantangan besar yang harus diperbaiki.
Untuk itu, isu kesetaraan gender menjadi salah satu dari prioritas isu yang diusung Women 20 (W20) dalam Presidensi G20 di Indonesia.
“Ini merupakan angin segar yang baik karena perempuan bukan minta dikasihani, tapi dia melakukan sesuatu harusnya diperlakukan secara adil, jangan cuma disebut karena perempuan how cute dan kemudian didiskon,” ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengibaratkan kesetaraan gender seperti sepasang sepatu. Jika posisi laki-laki lebih tinggi (menggunakan high heels) dan perempuan lebih rendah (menggunakan flat shoes), keduanya tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
“Suatu bangsa, negara, ekonomi, perusahaan, rumah tangga, kalau yang laki-laki pakai boots, high heels, yang perempuannya suruh flat shoes pasti nggak enak. Jadi kesamaan gender bukan masalah perjuangan, it is about what we say morally economically correct,” tuturnya.
Editor: denkur | Sumber: detikcom