DARA | JAKARTA – Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, menuntut Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) lebih responsif dalam mengkaji persoalan-persoalan aktual. Civitas akademika PTKIN tidak boleh hanya asyik dengan persoalan internal.
Penegasan ini disampaikan Menag saat membuka Rakor PTKIN yang digelar Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI, di di Jakarta. Rapat yang dihadiri para Rektor UIN dan IAIN, serta Ketua STAIN ini berlangsung di Jakarta, selama dua hari, 21-22 Februari 2019.
Menag melihat banyak hal yang telah dicapai PTKIN dalam beberapa tahun terakhir, utamanya terkait sarana dan prasarana. Bahkan, tahun 2019 akan dilakukan pembangunan pada 41 PTKIN untuk menambah daya dukung kapasitas agar akses lulusan pesantren dan madarasah untuk kuliah semakin terbuka.
Namun, hal itu dinilai Menag masih dalam kaitan urusan internal. “Saya melihatnya, kita masih berkutat pada masalah internal semata, termasuk masalah kekurangan guru besar. Saya belum menemukan bagaimana dampak positif secara langsung keberadaan PTKIN dalam merespon persoalan aktual kegamaan di Indonesia secara signifikan,” kata Menag.
PTKIN, Menurut Menag, harus mulai memberikan porsi yang cukup tehadap persoalan ini tanpa mengurangi apa yang sedang dan terus dilakukan karena memang menjadi skala prioritas. “Poin yang ingin saya sampaikan, kita jangan menghabiskan seluruh energi kita, seluruh sumberdaya yang kita miliki hanya berkutat pada urusan internal, meskipun itu penting.”
Untuk itu, civitas akademika PTKIN dituntut lebih responsif terhadap dinamika masyarakat sekitar dengan melakukan pendekatan berbasis kajian akademik. Dengan begitu, lanjut prestasi PTKIN lebih dirasakan, tidak semata soal sarana prasarana yang semakin bagus saja.
“Kemenag memiliki 58 PTKIN. Kalau saya ditanya apa prestasi PTKIN, apa yang bisa dijelaskan ke publik? Kira-kira saya harus menjawabnya apa, selain gedung-gedung yang baru?” tanya Menag, seraya menambahkan, begitu juga dengan pengembangan keilmuan, apa yang akan saya sampaikan kepada publik, bahwa ini adalah buah dari hasil PTKIN.
Nenurut dia, banyak persoalan masyarakat yang perlu direspon berbasis pendekatan akademik ilmiah. Masalah penodaan agama misalnya, bagaimana PTKIN menyikapi persoalan saat ini.
Penetapan Presiden Republik Indonesia No 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, lanjut dia, mengatur bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
“Pertanyaannya, pokok-pokok agama itu apa, siapa yang punya kewenangan menentukan pokok-pokok agama?,” ujardia.
Menag melihat belum ada penjelasan yang disepakati bersama terkait ini sehingga menjadi persoalan dalam penyelesaian kasus penodaan agama. “Dan ini menjadi persoalan yang sangat komplek.”
“Mungkinkah yang begini datang dari PTKIN? Ini lho upaya kita sikapi penodaan agama, apa itu penodaan agama, bagaimana menyelesaikan dan siapa yang punya otoritas menyelasaikan itu,” katanya.
Contoh kasus lainnya terkait penolakan pemakamam karena beda agama. Sampai saat ini, lanjut dia pula, belum ada regulasi mengatur tentang bagaimana proses pemakaman warga negara yang berbeda agama.
“Di Islam itu bagaimana, boleh tidak dipemakaman itu ada orang muslim dan agama lain atau pemakaman itu memang dipisah-pisah? Nah contoh persoalan ini siapa yang harus menjawab,” ujarnya.
Menag minta PTKIN bisa hadir sebagai institusi yang otoritatif untuk merespon kasus-kasus sejenis itu. PTKIN harus responsif terhadap persoalan aktual sehingga eksistensinya lebih dirasakan.
Termasuk juga terkait pola dakwah yang isinya caci maki dan amarah yang dilakukan di rumah ibadah. “Saya butuh masukan berbasis akademik, sehingga kebijakan yang diterbitkan kuat. Kalau saya berdebat, kita kuat dalam argumentasi. Kalau tidak mengharapkan PTKIN ke mana lagi?”***
Editor: Ayi Kusmawan