Alquran sebagai teks suci yang merupakan firman Allah SWT (kalamullah) sangat terjaga kemurnian dan kesuciannya, baik dari segi bacaan maupun tulisannya, semua pernyataannya dalam Alquran bersifat mutlak dan final.
DARA – Namun, untuk memahami kandungannya, manusia melakukan usaha melalui tafsir Alquran yang secara teoritis mempunyai unsur subjektivitas. Di Indonesia, penafsiran Alquran dibagi kedalam dua bagian yaitu klasik dan modern.
Pada masa modern, penafsiran di Indonesia mulai banyak dilakukan para ulama setelah merebaknya gerakan pembaruan Islam di Mesir yang dipelopori Jamaludin al-Afghani pada 1938-1897 dan Rasyid Ridha pada 1865-1935.
Hampir semua tafsir di Indonesia yang muncul setelah masa itu mengikuti gaya pemikiran tafsir al-manar dan yang semacamnya seperti tafsir al-Maraghi, tafsir al-Qasimi, dan lainnya.
Di antara ciri khas pemikiran madrasah al-Manar adalah salafi dalam bidang akidah, kebebasan dalam berpikir, rasionalis, menggalakkan ijtihad, antitaklid, menjadikan Alquran sebagai pilihan utama untuk mengubah nasib masyarakat, dan menjadikan sejarah kemajuan serta kemunduran suatu bangsa sebagai pelajaran kehidupan.
Hal ini diungkapkan oleh pakar bidang qira’at dan ilmu-ilmu Alquran, Dr Ahsin Sakho Muhammad dalam bukunya Membumikan Ulumul Quran: Tanya Jawab Memudahkan tentang Ilmu Qiraat, Ilmu Rasm Usmani, Ilmu Tafsir, dan Relevansinya dengan Muslim Indonesia yang terbit pada 2019.
Salah satu penafsir Alquran pada masa modern yang mengikuti gaya al-manar adalah Abdul Malik Amrullah atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka.
Sosok ilmuan, ulama, budayawan, sastrawan, pendidik, dan aktivis Islam yang telah malang melintang dalam sejarah pergerakan di Indonesia ini mencetuskan karya di bidang tafsir Al-Azhar.
Buya Hamka yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama ini dikenal sangat piawai dalam menulis. Atas kepiawaiannya itu, sangat membantu Buya Hamka dalam membuat tafsir Al-azhar sebagai salah satu karya masyhur dari buku-buku karya Buya Hamka lainnya.
Latar belakang kehidupan dan keilmuan Buya Hamka sangat jelas membekas dan memengaruhi corak serta karakteristik karya tafsirnya tersebut. Karakteristik tafsir ini berkisar antara adabi-ijtima’i atau sastra dan kemasyarakatan.
Banyak pengalaman kehidupan yang dirasakan oleh Buya Hamka tertuang dalam tafsirnya ini. Selain itu, dalam hal pemikiran yang tertuang di tafsirnya ini, Buya Hamka sangat terpengaruh oleh Gerakan pencerahan keislaman Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Hal ini bisa dilihat daru tafsirnya. Namun, sebagai ulama besar dan kharismatik, Buya Hamka juga banyak mengutip hadist Nabi Muhammad SAW, perkataan sahabat dan tabiin sehingga, tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka ini menjadi karya tafsir yang harmonis antara tafsir bil matsur dan bil ma’qul. (Sadam Al-Ghifari, ed: Nashih)
Artikel ini sebelumnya sudah ditayangkan di laman resmi mui.or.id dengan judul: Corak Penafsiran Buya Hamka dalam Mahakaryanya Tafsir Al-Azhar.
Editor: denkur