SECARA FISIK, saya baru mengenal Prof Azyumardi Azra sekitar 4 bulan, tetapi hubungan kami serasa sudah berbelas atau puluhan tahun.
Ya persisnya saya bertemu Gurubesar UIN Jakarta ini, saya kenal secara langsung pada 18 Mei 2022 di Hotel Aryaduta Jakarta saat acara serah terima pengurus Dewan Pers 2019-2022 ke Dewan Pers 2022-2025. Sebelum itu, setelah terpilih memang saya menjalin komunikasi, namun terbatas pada komunikasi teks WA, seperti mengucapkan selamat bekerja dan Selamat Idul Fitri. Setelah bersalaman saat menemuinya di ruang acara, saya sempat ngobrol juga dengan beliau saat makan malam, kami duduk bersebelahan.
Kami cepat akrab karena memang sebenarnya ada titik temu. Kami sama-sama sudah aktif di pers mahasiswa semasa kuliah, saya di UI, almarhum di UIN. Malam itu, ketika menyebut nama-nama aktivis pers kampus, nyambung. Mantan Rektor UIN ini adalah penulis tetap di Harian Kompas sejak puluhan tahun, sementara saya menjadi wartawan di sana oleh karena dia mengatakan sering membaca laporan olahraga saya. Kami seperti dalam satu keluarga pers dan almarhum memang pernah juga aktif sebagai wartawan di Panji Masyarakat yang termasuk media top di zamannya.
Nama Azyumardi Azra tidak asing di telinga karena tulisannya banyak, begitu buku-buku yang dia terbitkan, serta termasuk orang yang konsisten dalam pendirian mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus demokratis. Dia bercerita ke saya ketika bertamu ke rumahnya pada 19 Mei 2022, bahwa dia dikontak Menteri Pendidikan di era Presiden BJ Habibie.
“Bagus tulisan Anda di Kompas, teruskan. Hanya sedikit yang sekarang berani berpandangan kritis terhadap kondisi di Tanah Air,” katanya mengutip Wardiman Djojonegoro. “Saya bilang, saya akan konsisten, saya tidak takut untuk besikap karena itu demi kebaikan negara kita,” tambah beliau.
Prof Azyumardi mengundang ke rumah untuk memberi briefing tentang Dewan Pers, agar dia faham seluk beluk, tugas pokok, anggaran, sistem pengelolaan, dan juga kedudukan lembaga ini di dalam UU Pers, agenda Raker dengan Komisi I DPR RI dll. Hampir dua jam kami bicara, dan saya sampaikan apapun yang ditanya, dari hal yang serius sampai hal remeh-temeh. Termasuk waktu itu yang aktual adalah adanya judicial review atas Pasal 15 UU Pers yang dilakukan sekelompok orang, apa yang sudah dilakukan Dewan Pers dan perkembangan mutakhirnya.
Pertemuan begitu cepat karena kami ngobrol dengan enak, dan di akhir pembicaraan dia ingin agar saya tidak bosan kalau dia bertanya lagi seandainya ada yang ingin diketahuinya. Saya menyatakan siap karena saya juga ingin perpindahan tongkat kepengurusan berlangsung mulus dan program kerja bisa segera terlaksana.
Di awal pertemuan, beliau langsung menyampaikan, bagaimana kira-kira dunia baru yang akan dia geluti ini. “Saya nggak berhenti-henti diwawancara, sejak semalam,” katanya. Tidak hanya untuk media siber dan media cetak, Prof Azyumardi Azra pun harus melayani wawancara podcast dan stasiun televisi.
“Ya, itulah yang antara lain yang menghabiskan waktu Prof dan harus dilayani. Setiap hal yang menjadi berita di media, bisa langsung ditanyakan ke Dewan Pers,” kata saya.
Terakhir saya bertemu Prof Azyumardi Azra di Bali, saat pelatihan Ahli Pers 31 Agustus-2 September lalu. Saat bertemu dia langsung berkata, “Bagaimana Alesso?,” maksudnya anak bungsu saya Alesandro yang kuliah di UIN Jakarta. “Masih masa orientasi, Prof,” jawab saya. Saya memang pernah bercerita, anak kami yang lulusan Pesantren di Makassar, bercita-cita kuliah di UIN, entah di Yogyakarta atau Jakarta, tapi akhirnya diterima di Jakarta, tempat almarhum aktif mengajar S2 sampai akhir hayatnya.
Kami berpisah di restoran setelah sarapan diserta diskusi ringan bersama antara lain Yosep Adi Prasetyo dan Ketua PWI Kaltim, Endro karena beda pesawat, beliau pesawat siang, saya sore. “Salam sama istri ya Pak,” katanya. Ya kebetulan memang waktu pernikahan putri dari rekan Asep Setiawan di Masjid Raya Bintaro, Prof Azyumardi dan istri, berbincang-bincang dengan saya dan istri agak lama, sehabis akad nikah. Istri beliau dan istri saya cepat akrab.
Memang aktivitas Prof Azyumardi Azra di Dewan Pers begitu dilantik tergolong tinggi, sebagai bukti dari tanggung jawab mengemban jabatan. Semua acara praktis diikuti, yang tentu melelahkan. Yang menjadi keprihatinan almarhum adalah tentang akan segera disahkannya RUU KUHP padahal masih banyak pasal atau ayat yang berpotensi mengekang bahkan menjerat pers dan wartawan kalau tidak dikoreksi. Ketua Dewan Pers beserta anggota intensif melobi ke fraksi-fraksi di DPR, setelah sebelumny menyampaikan catatan perbaikan di Menko Polhukam Mahfud MD.
Ketika ada acara Evaluasi Survei IKP di Yogya, beliau sempat kelelahan gara-gara pesawat yang membawa kami dari Jakarta ke New Yogyakarta tertunda keberangkatannya. Saat mendarat, terpaksa menunggu belasan menit untuk dapat angkutan. Perjalanan ke kota juga memakan waktu lama karena adanya perbaikan jalan sehingga ada buka tutup. Malangnya lagi, karena hari Minggu dan Jalan Malioboro ditutup, supir yang tidak berpengalaman menurunkan kami di ujung jalan arah Tugu. Dari situ terpaksa disambung becak. Melelahkan.
Keesokan harinya, di ruangan acara, dia bertanya ke saya.
“Pak Hendry, ini apa saya harus mengikuti semua acara ya. Capek juga kalau semua harus saya datangi,” katanya setengah mengeluh.
“Silakan diwakilkan, Pak. Saya dulu sering diberi tugas Ketua apalagi kalau sifatnya internal,” kata saya. “Bapak pilih yang dianggap perlu saja.”
Khususnya setelah pertengahan tahun, program kerja mulai dilaksanakan dengan intensif dan setiap komisi mengadakan acara yang telah ditetapkan. Survei IKP dengan FGD-nya, Uji Kompetensi Wartawan, dilakukan di 34 provinsi, lalu ada juga Verifikasi Faktual, dan berbagai macam yang dilakukan di luar Jakarta. Maka jumlah 9 anggota Dewan Pers, karena minimal harus ada yang hadir untuk memimpin atau membuka acara tersebut, terasa kurang. Sebab umumnya juga masih bekerja di perusahaan atau lembaga masing-masing dan hanya bekerja paruh waktu di Dewan Pers.
Bagi mereka yang biasa aktif di organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers atau yang sudah terbiasa terlibat dalam kegiatan Dewan Pers, entah sebagai anggota Kelompok Kerja, atau Gugus Tugas, atau kepanitiaan, atau sebagai Tenaga Ahli, intensitas pekerjaan ini mungkin sudah tidak masalah, tubuh sudah dapat menyesuaikan diri. Bagi yang belum memang melelahkan, karena pekerjaan full timer sementara status hanya part timer.
Kesan saya, Prof Azyumardi Azra adalah orang yang sangat berdedikasi dan egaliter, selain tentu seorang intelektual yang mengagumkan dan memiliki kredibilitas tinggi. Sederhana, apa adanya, dan tidak peduli dengan statusnya. Santai saja. Cepat akrab dengan siapa saja dan integritasnya kukuh terjaga. Satu hal yang pasti tentang Dewan Pers, dia ingin koleganya mampu menjaga martabat dan kewibawan lembaga tanpa cacat, menjaga jarak dengan kekuasaan, independen, dan berfikir kritis.
Dalam pertemuan kami yang tidak banyak, mungkin hanya 10 kali selama dia menjabat Ketua Dewan Pers mulai 18 Mei lalu, banyak hal yang dia kroscek ke saya, agar dia tidak salah dalam menilai seseorang. Saya menyampaikan apa adanya versi saya dan menyilakan beliau untuk menguji informasi agar berimbang, sebab saya juga selama di Dewan Pers ingin lembaga ini dihargai siapapun karena pengurusnya orang yang terpercaya. Dan itu hanya bisa terjadi apabila para anggota mampu berperan sesuai harapan masyarakat pers dan masyarakat umum, atau sering dikelakarkan “Dewanya Pers”.
Semangatnya yang tinggi untuk menjaga kemerdekaan pers tercermin dari bagaimana dia ikut secara personal melakukan pendekatan ke wakil-wakil partai di DPR, kepada pejabat negara terkait. Dia tidak setengah-setengah. Begitu pula diadakan syukuran pada awal September, setelah Dewan Pers menang dalam judicial review atas Pasal 15 UU no 40/1999 tentang yang dilakukan sekelompok orang. Itu menjadi passion dia yang luar biasa, karena mungkin sejalan dengan posisinya sebagai intelektual yang selalu bersikap kritis dan ingin negara ini betul-betul berlandaskan demokrasi.
Almarhum adalah Ketua Dewan Pers tersingkat dalam sejarah, hanya menjabat 124 hari, mulai 18 Mei dan selesai 18 September 2022. Tetapi sumbangsihnya begitu besar karena Dewan Pers lalu menjadi lembaga yang “naik daun” ketika RUU KUHP menjadi pembicaraan karena waktu itu sempat ditargetkan diundangkan pada 17 Agustus 2022. Dia memberi arti dengan komitmen yang jelas atas kemerdekaan pers, dengan caranya yang khas.
Ketika mendengar Profesor Azyumardi dikabarkan sesak nafas sesaat akan mendatar di Bandara Kuala Lumpur dan langsung dilarikan ke rumah sakit, saya berdoa agar dapat sembuh dan pulih seperti sedia kala. Dewan Pers masih membutuhkan sentuhan tangan dan pikirannya.
Tetapi Allah Sang Pemilik Kehidupan, memiliki rencana lebih baik sehingga beliau berpulang pada hari Minggu pukul 12.30 waktu Semenanjung atau 11.30 WIB. Selamat jalan Prof, jasa baikmu akan selalu kami kenang. Innalilahi Wa Innalilaihi Rojiun.
Ciputat, 18 September 2022