Sepulang shalat Shubuh dari masjid depan rumah, Kiai Hamid Pasuruan sudah ditunggu banyak jamaah untuk ‘ngalap berkah’ bersalaman dengan beliau.
DARA | Banyak jamaah yang ingin bersalaman dengan kiai karena mengamalkan hadits Rasulullah saw yang menyebutkan: “Barang siapa bersalaman denganku atau bersalaman dengan orang yang bersalaman dengan orang yang bersalaman denganku -dan seterusnya- sampai hari kiamat maka ia akan masuk surga.”
Saking banyaknya jamaah yang bersalaman, Kiai Hamid merasa lelah sehingga ia mohon maaf dan mengatakan kepada jamaah cukup dan berdoa semoga yang hadir di tempat itu mendapatkan keberkahan dari Allah.
Dari sekian jamaah yang belum bersalaman tersebut, ada seorang santri yang terbetik dalam hatinya tentang enaknya menjadi seorang kiai. Dalam hatinya, ia sempat memiliki prasangka buruk (su’udzan) pada kiai dengan mengkalkulasi jumlah amplop yang diberikan jamaah.
“Kalau satu orang satu amplop, sudah berapa yang kiai dapatkan,” kalimat inilah yang muncul dalam benaknya.
Walaupun hanya terbersit dalam hati, ternyata Kiai Hamid mengetahui apa yang ada dalam pikiran dan benak hati santri ini.
Kemudian Kiai Hamid pun memanggil santri ini di tengah padatnya jamaah yang belum bisa bersalaman. Santri ini pun merasa bangga karena mendapat kesempatan istimewa dibanding jamaah lain yang tak bisa bersalaman.
Setelah itu Kiai Hamid mengajaknya untuk berjalan-jalan keliling Kota Pasuruan. Namun sebelum berangkat, Kiai Hamid memberikan tugas khusus kepada santri tersebut untuk membawa dan menjaga sebuah gelas yang terisi penuh dengan air.
Kiai Hamid berpesan kepada santri tersebut untuk menjaga agar air yang ada dalam gelas tersebut tidak tumpah. Tidak hanya melewati jalan daerah Pasuruan yang bagus dan mulus, saat jalan-jalan, Kiai Hamid mengajak santri tersebut melewati jalan berlubang-lubang. Santri tersebut pun terlihat kewalahan menjaga keseimbangan agar air tidak tumpah.
Setelah dirasa cukup, sampailah mereka kembali ke kediaman Kiai Hamid dan santri tersebut mendapat sebuah pertanyaan.
“Kamu saya tugaskan membawa air dalam gelas agar jangan sampai tumpah. Susah apa tidak?” tanya Kiai Hamid.
Santri itu pun menjawab bahwa ia merasakan susah untuk mempertahankan agar air dalam gelas tersebut tidak tumpah. Walaupun ia sudah berusaha untuk menjaganya agar tidak tumpah, namun dalam perjalanan, ada saja air yang tumpah karena goyangan akibat jalan yang berlubang-lubang.
Mendengar jawaban santri tersebut, Kiai Hamid pun berkata bahwa semua itu menggambarkan betapa berat dan susahnya para kiai dalam menjaga dan membina umat.
Artikel ini dikutip dari laman resmi nu.or.id dengan judul: Segelas Air dan Sadarnya Santri Betapa Berat Tugas Kiai.
Editor: denkur