Fenomena nikah di bawah tangan atau nikah siri masih saja marak terjadi. Lantaran pernikahan itu tidak dicatat di KUA atau catatan sipil, maka tidak jarang praktik pernikahan ini menimbulkan dampak negatif (madharat) terhadap istri atau anak yang dilahirkannya.
DARA | Nikah siri meski sah secara agama, tapi pernikahan ini tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga dianggap tidak pernah ada dalam catatan negara.
Dampak negatif yang bisa saja terjadi misalnya status anak disamakan dengan anak di luar nikah, atau istri dan anak tidak memiliki hak waris di mata hukum.
Selain itu, secara hukum suami tidak memiliki kewajiban untuk memberi nafkah, sehingga jika suatu saat suami pergi begitu saja dan menelantarkan anak istrinya, maka istri akan sulit menggugat dan menuntut hak atas diri dan anaknya.
Atas dasar itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang nikah di bawah tangan untuk dijadikan pedoman.
Fatwa MUI No 10 Tahun 2008 tentang Nikah di Bawah Tangan menyatakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Ketentuan umum yaitu nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah: “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam), namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Sementara itu, ketentuan hukum yang pertama, pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madharrat.
Kedua, pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif madharrat (saddan lidz-dzari’ah).
Dalam fatwa yang ditandatangani di Jakarta, 17 September 2008 ini, mengutip sejumlah ayat al-quran dan hadits. Diantara dalil ayat al-quran adalah sebagai berikut:
Surat Ar Rum ayat 21
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Q Ar-Rūm [30]:21)
Surat An Nisa ayat 59
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).” (QS An-Nisā’ [4]:59)
Di samping dalil dari ayat Alquran di atas, terdapat beberapa hadits Rasulullah SAW yang dijadikan landasan penetapan fatwa, yaitu:
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
“Dengarlah dan taatilah sekalipun yang memimpin kalian adalah seorang budak habsyi, seolah-olah kepalanya gimbal.” (HR. Bukhari)
َ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal, (1) karena hartanya, (2) karena keturunannya, (3) karena kecantikannya dan (4) karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Laksanakanlah walimah sekalipun hanya dengan menyembelih seekor kambing.” (HR. Bukhari)
َأَعْلِنُوا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ
“Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana ntuk mengumumkannya.” (HR Hakim, Ahmad, dan at-Tirmidzi)
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh berbuat mudarat dan hal yang menimbulkan mudarat.” (HR. Ibnu Majah, Malik, dan Ahmad)
Selain itu, acuan yang dirujuk oleh MUI dalam mengesahkan fatwa adalah dengan meninjau kaidah fikih yang berbunyi:
درء المفاسد مقدم علي جلب المصالح
“Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada mengambil kemaslahatan.”
Demikian beberapa landasan atau dalil dalam fatwa MUI terkait hukum nikah di bawah tangan. Diharapkan fatwa ini bisa dijadikan pedoman, sehingga praktek nikah di bawah tangan yang tidak dicatat secara resmi di instansi berwenang dapat diminimalkan.***(Shafira Amalia, ed: Nashih)
Artikel ini sebelumnya sudah ditayangkan laman resmi MUI dengan judul: Nikah Siri Bisa Dihukumi Haram, Ini Penjelasan dan Argumentasinya.
Editor: denkur