Otonomi desa salah satunya bertujuan untuk menciptakan self governing community atau kemandirian masyarakat desa, sehingga memberikan kesempatan bagi desa untuk berkembang sesuai potensi yang dimiliki.
DARA | Desa harus melakukan pembangunan berbasis potensi.
Otonomi desa seharusnya mampu mendorong pemerintahan dan masyarakat desa dapat melakukan pembangunan berbasis potensi desa yang berimplikasi pada tercapainya kehidupan yang lebih sejahtera.
Demikian dikatakan ,” Kepala Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BSKDN) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Yusharto Huntoyungo saat memberikan arahan dalam acara Lokakarya Dinamika Penyelenggaraan Pemerintahan Desa secara daring dan luring dari Aula BSKDN, Selasa (28/2/2023).
Yusharto mengatakan, pelaksanaan otonomi desa salah satunya bertujuan untuk menciptakan self governing community atau kemandirian masyarakat desa. Dengan demikian, otonomi desa memberikan kesempatan bagi desa untuk berkembang sesuai potensi yang dimiliki.
Menurut Yusharto, kehadiran Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa membawa optimisme bagi perkembangan desa, sebab desa tidak lagi dijadikan sebagai objek pembangunan daerah, melainkan sebagai subjek dalam melaksanakan pembangunan.
“Melalui Undang-Undang Desa tersebut, pemerintah memiliki target mentransformasikan desa secara bertahap, yakni dari desa tertinggal menjadi desa berkembang dan dari desa berkembang menjadi desa mandiri,” ujarnya seperti dikutip dari laman resmi Kemendagri, Kamis (2/3/2023).
Adapun progres perkembangan dan pembangunan desa dapat dilihat dari berbagai instrumen pengukuran yang dilakukan pemerintah.
Dia mencontohkan berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) tahun 2022 terdapat 6.239 Desa Mandiri, 20.249 Desa Maju, 33.893 Desa Berkembang, 9.234 Desa Tertinggal, dan 4.438 Desa Sangat Tertinggal.
Kendati demikian, Yusharto mengatakan kehadiran UU Desa memiliki dampak besar terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa, tapi juga menyisakan beberapa persoalan. Hal itu dapat dilihat dari berbagai isu sosial politik saat ini, terkait penyelenggaraan pemerintah desa.
“Salah satu persoalan yang muncul yakni usulan perubahan masa periode kepemimpinan kepala desa dari sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun dalam satu periode, isu lainnya terkait penuntutan hak perangkat desa untuk memilki status kepegawaian,” tuturnya.
Di sisi lain, Yusharto mengatakan, berbagai kelemahan penyelenggaraan pemerintahan desa dapat dilihat dari kapasitas manajemen pemerintahan desa dan kompetensi kepala desa beserta perangkatnya yang masih lemah.
“Lemahnya manajemen pemerintahan desa berpotensi menimbulkan berbagai kendala seperti kurang optimalnya pelayanan kepada masyarakat,” katanya.
Editor: denkur