Pernikahan dini dan kekerasan seksual selama ini menjadi persoalan yang serius dan cukup memprihatinkan, tak terkecuali di Kabupaten Garut.
DARA | Meski begitu, dalam menghadapi tantangan tersebut, ada sekelompok anak muda dari berbagai organisasi di Kabupaten Garut yang dengan gigih memerangi masalah tersebut.
Salah satunya adalah Ajeng Astini, warga Rancabango, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut. Perempuan berusia 22 tahun itu bergerak aktif bersama teman-temannya sebagai agen perubahan untuk memberantas masalah sosial tersebut.
“Kita anak-anak muda ini berdiskusi soal tiga isu, pencegahan pernikahan anak, kekerasan seksual, dan pencegahan praktek berbahaya, seperti sunat perempuan,” ujarnya dalam kegiatan pelatihan youth advokat di Hotel Sumber Alam Cipanas, Kabupaten Garut, Minggu (21/5/2023).
Menurut Ajeng, dalam beberapa tahun terakhir, pernikahan dini dan kekerasan seksual telah menjadi perhatian serius di Garut.
Ia menyebut, tidak sedikit remaja perempuan menjadi korban pernikahan dini, yang berdampak negatif pada pendidikan, kesehatan, dan masa depan mereka.
Selain itu, lanjutnya, kekerasan seksual terjadi tanpa pandang bulu, menghilangkan rasa aman dan menghancurkan kepercayaan diri anak muda.
“Kita juga membahas bagaimana sih melakukan advokasi terhadap ketiga isu ini, teman-teman mencoba menggali data, dengan menyebar angket untuk bahan penelitian,” ujarnya.
Ajeng menuturkan, dengan kelompok advokasi yang dinaungi Yayasan Semak dan Rutgers itu berkomitmen untuk membawa perubahan positif dalam masyarakat, dengan memberikan pengetahuan tentang hak-hak anak dan dampak negatif pernikahan dini serta kekerasan seksual, kemudian berusaha meningkatkan kesadaran dan mendorong pemahaman yang lebih baik di kalangan remaja.
“Dengan data penelitian, kita akan merekomendasikan kepada pemerintah daerah sampai pemerintah desa apa saja yang perlu dilakukan,” katanya.
Sementara itu, Project Officer Yayasan Semak, Nandang Cahyono, menyebutkan jika pihaknya mendorong anak-anak muda di Garut untuk lebih memahami persoalan yang dihadapi saat ini, sehingga nantinya jika anak-anak muda tersebut mampu memahami persoalan di Garut, mereka akan mampu membuat gagasan-gagasan solutif.
“Salah satunya ada agenda advokasi. Dalam tiga hari ini mereka berkumpul melakukan studi literatur, publikasi media, pemerintah, angka-angka, itu yang mereka kaji, sehingga dari studi itu diharapkan anak muda di Garut bisa membuat peta tentang siapa saja aktor yang mempengaruhi masalah tersebut,” ujarnya.
Menurut Nandang, dalam diskusi tersebut, ada empat hal yang menjadi perhatian anak-anak muda tersebut, pertama tentang tingginya pernikahan anak, kedua tentang tingginya angka kekerasan berbasis gender online, lalu persoalan persepsi gender, dan rendahnya literasi digital anak-anak muda di Garut.
“Setelah ini kami menyepakati tentang fakta data dan bukti-bukti, ketika mereka nanti akan melakukan advokasi dengan cara yang mereka pilih itu berbasis bukti dan fakta,” katanya.
Sebagai informasi, sepanjang tahun 2022 Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) mencatat adanya pengajuan dispensasi pernikahan dini sebanyak 8.607 yang terdiri dari 4.297 perempuan dan 4.310 laki-laki.
Dari jumlah tersebut Tasikmalaya berada di urutan nomor satu terbanyak yakni menyumbangkan 1.240 pengajuan dispensasi, disusul oleh Garut dengan angka pengajuan sebanyak 929.
Daerah lain seperti Ciamis menyumbang 828 pengajuan, Majalengka 618 pengajuan, Indramayu 490 pengajuan dan Cirebon 713 pengajuan.
Editor: denkur | Keterangan foto:
Sekelompok anak Garut berdiskusi soal isu pernikahan dini dan kekerasan seksual (Foto: Ist)