Imam At-Tirmidzi tokoh besar penjaga dan pelestari agama Islam.
DARA | Termez, kota yang sekarang masuk wilayah Uzbekistan, berabad-abad lalu pernah melahirkan tokoh yang hingga kini namanya dikenal di seluruh dunia sebagai tokoh besar penjaga dan pelestari agama Islam, Imam At-Tirmidzi.
Ia bernama Muhammad, lahir dari seorang ayah bernama ‘Isa. Tidak ada data pasti tahun berapa ia lahir.
Dr Nuruddin ‘Itr, berdasarkan hitungan matematis, memperkirakan tahun lahirnya adalah 209 H. ( Nuruddin ‘Itr, Al-Imam At-Tirmidzi wal Muwazanah baina Jami’ihi wa bainash Shahihain [Beirut, Mu’assasatur Risalah: 1970], halaman 10).
Ia menimba ilmu di kota-kota Khurasan, ‘Iraq, dan Hijaz. Tidak ada data yang menyebutkan ia belajar ke Mesir dan Syam.
Kemungkinan besar ia juga tidak ke Baghdad, karena ia tidak memiliki riwayat hadits dari Ahmad bin Hanbal secara langsung.
Beberapa ulama besar yang menjadi gurunya adalah Ishaq bin Rahuwaih, Abu Zur’ah Ar-Razi, Abdullah Ad-Darimi, Muslim, Abu Dawud, dan Al-Bukhari.
Nama terakhir ini menjadi guru paling berpengaruh bagi At-Tirmidzi. Ia belajar pada imam besar itu dalam kurun waktu yang lama.
Begitu berpengaruhnya Al-Bukhari dalam membentuk karakter At-Tirmidzi yang saleh dan wira’i serta keilmuan yang dalam, hingga Nuruddin ‘Itr mengatakan bahwa At-Tirmidzi bagaikan fotokopi dari Al-Bukhari. Ia memang khalifah (penerus) sang maha guru tersebut.
Al-Hafizh ‘Umar bin ‘Allak mengatakan:
“Al-Bukhari telah wafat, ia tidak meninggalkan penerus/murid lain yang selevel At-Tirmidzi dalam hal ilmu, hafalan, wira’i, dan zuhud. Ia menangis sampai buta.”
Kepadanya, ia belajar banyak ilmu, khususnya fiqhul hadits dan ‘illat hadits. Ia bercerita mengenai kehebatan gurunya itu:
لم أر بالعراق ولا بخراسان في معنى العلل والتاريخ ومعرفة الأسانيد كثيرا أحدّ علم من محمد بن إسماعيل
Artinya, “Di seantero Iraq dan Khurasan, aku tidak melihat ada orang yang lebih tajam ilmunya dari Al-Bukhari mengenai ‘illat, tarikh, dan sanad.”
Kedua guru dan murid ini sering berdiskusi. Al-Bukhari pun mengakui kehebatan muridnya tersebut, ia meminta muridnya itu meriwayatkan hadits padanya. Ia pun dengan kerendahan hati berkomentar:
ما انتفعت بك أكثر مما انتفت بي
Artinya, “Apa yang kuambil darimu lebih banyak daripada apa yang kau ambil dariku.”
(Nuruddin ‘Itr, Al-Imam At-Tirmidzi, halaman 11, 17-18, 20; dan Ad\-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’ [Beirut, Mu’assasah Ar-Risalah: 1983], juz 13, halaman 271, 273).
Selain ribuan hadits yang ia hafal beserta sanad dan status haditsnya, At-Tirmidzi juga memiliki pengetahuan fiqih yang sangat luas. Ia mempelajari fiqih empat mazhab dan para mujtahid lain seperti Sufyan Ats-Tsauri, Ishaq bin Rahuwaih, dan yang lainnya.
Untuk fiqih Syafi’i, ia belajar mazhab qadim (pendapat Asy-Syafi’i ketika di ‘Iraq) pada Hasan bin Muhammad Az-Za’farani, dan belajar madzhab jadid (pendapat Asy-Syafi’i setelah hijrah ke Mesir) pada Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, keduanya adalah murid Imam Asy-Syafi’i.
Sedangkan untuk madzhab Maliki, ia belajar pada Abu Mush’ab Az-Zuhri, murid imam malik. Maka tak heran jika kitab Sunan-nya penuh dengan dalil-dalil fiqih berbagai mazhab.
Kitab Sunan itu sendiri menjadi bukti nyata kepakaran At-Tirmidzi dalam bidang hadits dan keluasan pengetahuannya tentang mazhab-mazhab para mujtahid. Ilmu sedalam dan seluas itu takkan bisa ditampung kecuali oleh memori yang sangat besar serta akal yang tajam. (Nuruddin ‘Itr, Al-Imam At-Tirmidzi, halaman 19).
Mengenai kekuatan hafalannya, ada satu cerita menakjubkan yang ia kisahkan sendiri, seperti yang dikutip Ad-Dzahabi.
Suatu ketika di salah satu jalan kota Makkah, dia bertemu seorang syekh (guru hadits). Ia pernah mencatat hadits-hadits dari jalur syekh tersebut melalui perantara orang lain. Maka pada saat bertemu, ia langsung menghampirinya dan memintanya meriwayatkan hadits-hadits secara langsung kepadanya.
Saat itu, ia membawa buku catatan yang ia kira adalah buku yang sebelumnya ia gunakan untuk mencatat hadits-hadits dari syekh tersebut, sehingga ketika syekh tersebut meriwayatkan hadits, ia membuka buku catatannya.
Ternyata salah buku, yang ia bawa buku yang masih kosong. Hal itu lalu diketahui syekh tersebut. Ia menegur At-Tirmidzi, “Apa kau tidak malu padaku? (Karena meminta hadits tanpa membawa catatan)”.
Lalu At-Tirmidzi menjelaskan alasannya dan menjawab, “Tapi aku hafal semua hadits yang baru saja Anda sampaikan”.
Syekh tersebut kemudian menyuruhnya mengulangi hadits-hadits yang baru saja ia sampaikan, At-Tirmidzi pun mengulanginya dengan lancar.
Sang syekh yang seolah tak percaya dengan kemampuan hafalan yang luar biasa itu kemudian berkata “Kau sudah mempersiapkan hafalan ini?”.
“Coba berikan aku hadits lain” jawab At-Tirmidzi. Syekh tersebut lalu menyampaikan 40 hadits lagi, dan setelah selesai, 40 hadits itu diulangi oleh At-Tirmidzi tanpa salah satu huruf pun. Tentang kitab Sunan-nya, ia dengan penuh percaya diri mengatakan:
صنفت هذا الكتاب وعرضته على علماء الحجاز والعراق وخراسان فرضوا به، ومن كان هذا الكتاب في بيته فكأنما في بيته نبي يتكلم
Artinya: “Aku menyusun kitab ini dan aku sodorkan pada para ulama Hijaz, ‘Iraq, dan Khurasan, mereka pun memberi restu. Barangsiapa di rumahnya ada kitab ini, maka seolah di rumahnya itu ada seorang nabi yang berbicara.”
At-Tirmidzi mengalami kebutaan di akhir usianya, seperti yang diceritakan ‘Ibn ‘Allak di atas, ia wafat di kota kelahirannya pada tanggal 13 Rajab 279 H. (Ad-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’, juz 13, halaman 273-274).
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di situs resmi NUonline dengan judul: At-Tirmidzi Pakar Fiqih Hadits Penerus Imam Al-Bukhari. Ditulis oleh Ustadz Rif’an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo.
Editor: denkur