Sedikit lunglai, wanita paruh baya ini memasuki ruangan kelas yang disulap jadi Posko Relawan Pramuka.
DARA | Celana panjang coklat penuh dengan lumpur hingga di atas lutut. Helm yang dipakainya belum dilepas ketika kakinya memasuki ruangan itu.
Ia menyapa para pengurus Kwartir Cabang (Kwarcab) Gerakan Pramuka Kabupaten Bandung Barat (KBB) dengan pakaian yang dikenakannya masih basah.
“Punten kakak-kakak, saya mau mandi dulu. Tadi habis selasar air. Ini pakaian pada basah dan kotor kayak gini,” ujar pemilik nama Bannu Nurderita (58), salah seorang relawan di lokasi longsor Kampung Gintung, Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor, KBB, Minggu (30/3/2024).
Bannu, dikenal di lingkungan Kwarcab Pramuka KBB sebagai wanita yang tangguh. Bagaimana tidak, ia satu-satunya wanita seusianya yang masih getol terjun di daerah bencana.
Bannu bergabung di Bandung Barat Scout Rescue (BBSR/, Kwarcab Gerakan Pramuka KBB. Salah satu aktivitas yang menonjol BBSR adalah menjadi relawan ketika sebuah daerah dilanda bencana.
Ketika Kampung Gintung Desa Cibenda dilanda banjir bandang, disusul dengan longsor, Bannu tidak mau ketinggalan terjun langsung ikut jadi relawan.
Ia bergabung bersama anggota BBSR Pramuka dan relawan lainnya di MTs Al-Mukodar, yang tidak jauh dari lokasi pengungsian korban bencana longsor itu.
“Sudah menjadi panggilan jiwa, kalau melihat ada bencana itu, mau langsung membantu gitu,” tutur nenek dari seorang cucu dari anak sulungnya.
Berada di tengah-tengah kaum adam ketika menjadi relawan, bagi Bannu bukan sebuah persoalan. Begitu juga dengan usia yang tidak muda lagi, ia tetap bisa beradaptasi dengan relawan lainnya. Hampir rata-rata para relawan ini, jauh di bawah usianya.
Bannu mengaku sama sekali tidak canggung kendati harus berjibaku menjadi relawan berusia muda. Justru ia berharap, masih konsisten dirinya menjadi relawan bisa menjadi motivasi bagi yang lainnya.
“Saya saja sudah tua begini, berusaha membantu saudara-saudara kita yang kena musibah. Masa yang masih muda, masih mau berpangku tangan? Semoga saja saya inspirasi bagi yang lainnya,” ujar ibu dari ketiga anaknya tersebut.
Ia menceritakan pengalamannya ketika berada di sebuah kejadian. Saat itu, di jalan raya sekitar Lembang ada sebuah mobil terguling dan masuk jurang.
Bannu mengaku gusar karena yang melihat kondisi peristiwa itu, hanya selfie-selfie saja. Sementara ia tidak bisa berpangku tangan untuk membantu menderek mobil itu.
Ia turun tangan, membantu menderek mobil itu agar laju kendaraan kembali lancar. Mungkin karena para pria yang berada di sekitar itu malu hati, akhirnya mereka juga ikut membantu menderek mobil tersebut.
“Ya, saya kepengen orang-orang seperti itu. Ketika ada yang lain membutuhkan tenaga kita, kenapa tidak kita bantu,” kata Guru Olahraga di SMPN I Ngamprah ini.
Bagi Bannu, terjun di sebuah daerah yang dilanda bencana bukan barang baru. Sejak ia kuliah di FPOK UPI, sudah mulai aktif menjadi relawan.
Pada suatu saat, ada seorang bocah yang tenggelam ketika berenang. Ia bersama tim lainnya, ikut mencari keberadaan bocah tersebut dan berhasil menemukan jasadnya jauh dari lokasi kejadian.
Sejak saat itu, Bannu memantapkan diri jika dirinya siap menjadi relawan di sebuah daerah terkena bencana.
Pahit manis ketika berada di lokasi bencana, sudah ia lalui. Terkadang berhari-hari ia tidak bisa pulang karena medan yang dilalui sulit untuk hilir mudik.
Bersyukur keluarganya mendukung Bannu untuk aktiv di kegiatan sosial. Bahkan pada hari-hari libur ketika ia berada di rumah, malah dipertanyakan keluarganya.
“Kenapa mamah ada di rumah? Biasanya kan suka ke luar,” ujar Bannu, menirukan pertanyaan anak-anaknya.
Anak-anaknya cukup maklum dengan sepak terjang Bannu. Bahkan ketika sakitpun, anak-anaknya malah mengajaknya untuk kemping.
“Saya kan nggak biasa diam di rumah. Jadi kalau lagi nggak enak badan atau sedikit sakit, malah diajak kemping sama anak-anaknya,” celoteh Bannu.
Diakui Bannu, untuk menjadi relawan bencana, bukan hanya sekedar fisik dan mental yang harus dipersiapkan.
Terkadang dirinya, harus mengorbankan materi ketika terjun ke sebuah daerah bencana.
“Iya sih kadang kalo kebetulan gak ada dana, biasanya saya nebeng dengan rekan se-tim. Kalo untuk makan dan lain-lain mah biasanya ada yang suplay,” katanya.
Merasa nyaman menjadi relawan bencana, Bannu tidak segan-segan terjun ke daerah-daerah bahaya. Baginya itu adalah sebuah tantangan yang harus ia selesaikan dengan kemampuannya.
“Ketika berada di daerah bencana, saya mengenyampingkan rasa malu atau sungkan, karena batasan usia atau karena saya wanita. Kenapa harus sungkan juga, karena apa yang saya lakukan dibiarkan bantu orang yang lagi kena musibah,” ujarnya.***
Editor: denkur