Hubungan bantuan sosial (bansos) dengan keterpilihan kandidat petahana sangat rendah. Korelasinya hanya 0,29 yang berarti memiliki nilai sangat rendah.
DARA | Padahal, pada exit poll hasilnya tidak jauh berbeda dengan hasil quick count dan perhitungan dari KPU.
“Kita semua bisa menguji elektabilitas dari kalangan penerima bansos, apakah bisa menggambarkan kandidat petahana mendapatkan suara dari tersebut. Koefisien korelasi antara approval rating Jokowi dengan kenaikan suara Prabowo–Gibran dengan kenaikan suara hanya 0,024, sehingga tidak ada hubungan sama sekali antara bantuan sosial dengan keterpilihan Paslon 02 sangat kecil, bahkan nyaris tidak ada.”
Demikian dikatakan Hasan Nasbi yang tampil sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan pemeriksaan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Presiden) tahun 2024 yang digelar Mahkamah Konstitusi, Kamis (4/4/2024).
Paslon 02 dalam sidang tersebut selain menampilkan Hasan Nasbi juga Muhammad Qodari sebagai ahli.
Bertindak sebagai saksi dari pihak terkait yaitu Paslon 02 adalah Ahmad Doli Kurnia T, Supriyanto, R Gani Muhammad, Andi Batara Lifu, TB H Ace Hasan Syadzily, dan Abdul Wachid.
Sementara itu, Muhammad Qodari mengilustrasikan uji efek bansos di Indonesia yang dapat dilakukan dengan nonsistematis (dugaan/perasaan) dan sistematis (perilaku pemilih dengan analisis).
Secara garis besar, uji efek bansos dalam perilaku memilih pada Pilpres 2024 ini dapat dilakukan dengan analisis statistik berupa deskriptif, korelasi, dan regresi.
“Melalui riset ilmiah dengan regresi, maka uji efek bansos dapat diketahui dengan lebih baik. Bahkan dari riset Survei Indikator Indonesia diketahui pemilih Paslon 02 justru lebih banyak yang tidak berstatus sebagai penerima bansos,” ujar Qodari.
“Jadi alasan masyarakat memilih capres karena punya kualitas tertentu. Hal serupa juga berlaku pada money politic atau serangan fajar, sehingga tidak ada jaminan antara pemberian money politic dengan memilih kandidat apalagi itu pemberian parlinsos,” imbuhnya seperti dikutip dari laman MK, Kamis (4/4/2024).***
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia T, menerangkan penetapan kebijakan penetapan penjabat kepala daerah didasarkan pada UU 10/2016.
Setelah Pilkada 2020, kata Ahmad, tidak akan ada pilkada hingga nantinya digelar pemilihan secara serentak pada November 2024. Kosekuensi dari ketentuan ini, maka hasil Pilkada 2017 dan 2018 harus berakhir pada 2022 dan 2023.
“Oleh karenanya untuk menjalankan pemerintahan selanjutnya perlu ditunjuk penjabat kepala daerah. Dalam UUD 1945, pemerintah adalah pelaksana undang-undang sehingga harus melaksanakan jalannya pemerintahan penetapan sesuai amanat undang-undang,” ujarnya.
“Di tengah perjalanan itu, Komisi II DPR RI terdapat penyampaian aspirasi dari masyarakat sipil pada pertengahan 2022 yang meminta ada peraturan teknis agar penetapan penjabat daerah dan berdasarkan Putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022 ini oleh Mendagri dirumuskan dalam PP Nomor 4/2023. Sebagaimana aturan yang ada, selama proses dalam penetapan penjabat, maka pelaksanaan penetapan penjabat adalah sesuai dengan UU 10/2016,” imbuhnya.
Keterangan serupa juga disampaikan Supriyanto sebagai Anggota DPR RI Komisi II yang juga menjadi Caleg Dapil Jatim 7. Menurutnya, pasca-pengangkatan PJ Kepala Daerah tidak banyak gejolak di masyarakat dan tidak ada penolakan di masyarakat. Fungsi pemerintahan berjalan lancar karena mampu mempersiapkan naskah hibah daerah untuk melaksanakan Pilkada Tahun 2024 mendatang.
Berdasarkan hasil pengamatan Supriyanto, Paslon 02 memperoleh suara tertinggi pada 36 kabupaten/kota dari 38 kabupaten kota, Paslon 01 memperoleh suara tertinggi pada dua kabupaten/kota, sedangkan Paslon 03 tidak menang di daerah Jawa Timur.
Sementara itu R Gani Muhammad selaku PJ Walikota Bekasi menjelaskan tentang peristiwa eksistensi penjabat kepala daerah yang dilantik oleh Kemendagri pada 20 September 2023.
Dalam melaksanakan tugas, Gani selaku penjabat tidak diperkenankan melakukan mutasi ASN dan mengeluarkan atau membatalkan perizinan yang telah dilakukan oleh penjabat sebelumnya.
“Terkait dengan keberpihakan, kami tidak ada perintah untuk menyukseskan paslon mana pun. Pendekatan yang kami lakukan dalam pelaksanaan tugas, karena kami tidak punya kepentingan politis, yakni pendekatan normatif dalam pembangunan Kota Bekasi” tutur Gani.
Kemudian Andi Batara Lifu selaku Direktur Fasilitas Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri menerangkan tugasnya dalam menyiapkan rumusan kebijakan dan monitoring terkait kepala daerah.
Batara menjelaskan proses pengisian penjabat daerah dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan.
“Persyaratan utama dari ini telah diatur dalam undang-undang dan bagi calon Gubernur misalnya, diawali dengan menyurati DPRD Provinsi, yang kemudian beberapa tahap yang telah ditentukan undang-undang,” kata Batara, masih dikutip dari laman MK.***
Editor: denkur