OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
“LEGIUN”. Berasal dari bahasa Perancis “Legion ‘etrangere”, untuk konteks etnik asing yang digunakan Perancis. Sebagai petempur dalam peperangan, semasa pergolakan.
LEGIUN adalah unit militer dalam Angkatan Darat (AD) Perancis, yang didirikan tahun 1831. Mengapa ada legiun? Banyaknya wilayah jajahan Perancis, terutama di Afrika Utara. Menjadikan kebutuhan unit militer sebagai keharusan.
Jadilah legiun. Tentara Perancis yang multi-etnik. Hampir semua pertempuran, juga perang dunia akan melibatkan “Legion”. Termasuk dalam legiun Perancis, orang-orang: Afrika, Serbia, Jerman, Polandia, Inggris yang meninggalkan negaranya karena sebab-musabab.
“Legionnaire” untuk menyebut para petempur tadi, bisa mengajukan diri sebagai warga negara Perancis. Setelah tiga tahun bertugas sebagai legiun (legionnaire).
Historis “legionnaire”, terbawa terus sampai kini. Tidak terhenti sebatas peperangan membela kepentingan koloni Perancis.
Di dunia olahraga, terutama sepak bola, negeri yang cenderung sosialis ini, lebih “gila” lagi. Melihat skuad Timnas Perancis 2024 (lihat foto), delapan dari 11 “starting eleven”, berkulit hitam adalah legiun.
Suatu kali (semasa SMP) anak saya bertanya. “Kok pemain sepak bola Perancis hampir “hitam” semua, Pah”. Dalam pikirannya, Perancis terletak di Eropa. Benua Biru. Seharusnya berkulit putih.
Banyak faktor, setidaknya tiga poin penting. Sehingga Timnas Perancis, beraroma Timnas Nigeria, Maroko, Aljazair, atau Afrika Selatan.
Kebijakan negeri “guillotine”, semasa Raja Louis XIV ini terhadap hadirnya pemain-pemain naturalisasi. Pertama, banyaknya orang-orang Afrika (kulit hitam) dalam legiun, yang bertempur untuk Perancis. “French by spilled blood” (menumpahkan darah), atau dalam bahasa Perancis “Francais par le sang verse”.
Membuat orang-orang kulit hitam Afrika, mudah menjalani naturalisasi karena jasa-jasanya dalam legiun. Dengan naturalisasi para orangtua, atau kakeknya. Maka, keturunan berikutnya, otomatis adalah warga negara Perancis.
Bisa disebut lewat azas “ius soli” (law of The soil). Naturalisasi berdasarkan tempat kelahiran, bukan karena keturunan orangtua, atau kakeknya. Kita ambil contoh, mantan bintang Perancis 1998 Zinedine Zidane yang keturunan Aljazair (Afrika Utara). Aljazair adalah markas legiun dan jajahan Perancis.
Sementara, mengambil contoh mantan pemain dan pelatih Timnas Perancis Didier Claude Deschamps. Atau bintang Piala Eropa 1988 Michael Francois Platini. Menjadi warganegara Perancis berdasarkan keturunan orangtua. Kita sebut “Ius sanguinis”.
Dua faktor lain banyaknya pemain Perancis keturunan Afrika, yaitu. Kebijakan sosialis yang terbuka, dan banyaknya wilayah jajahan Perancis. Ini menjadikan Perancis, sebagai tempat imigran terbesar Afrika di Eropa.
Perancis merasakan betul. Untuk memajukan prestasi sepakbolanya, mereka butuh Kylian Mbappe, Paul Pogba, Ousmane Dambele, N’Golo Kante, Samuel Umtiti, Presnel Kimpembe, Steve Mandanda, Dayot Upamecano, Jules Kounde, Marcus Thuram yang darah Afrikanya berasal dari pewarganegaraan sang orangtua.
Setidaknya, 15 dari 25 anggota skuad Perancis di Piala Eropa 2024 (Jerman) lalu, berdarah Afrika. Bandingkan dengan skuad berdarah Afrika Timnas Perancis di Piala Dunia 1982. Hanya dua: ‘midfielder’ Jean Tigana dan bek Marius Tresor. Prestasi Timnas Perancis saat itu, rangking 4 “World Cup”.
Setelah melakukan “Revolusi” sepakbola besar-besaran, dengan lebih mayoritas pemain berdarah Afrika, Perancis menjuarai Piala Dunia 1998 (Perancis), dan Piala Dunia 2018 (Rusia).
Federasi sepakbola Perancis, Federation Francaise de Football (FFF) tidak ragu dengan apa yang mereka rasakan terhadap sepak bola di negerinya. FFF tidak ragu melakukan naturalisasi, atau menggunakan azas “ius soli” untuk memajukan sepak bola.
Apa yang diketahui, akan dilihat. Manusia bisa merasakan, sebanyak yang dia ketahui. Kita bisa melihat sepak bola Indonesia, selepas era Sutjipto Suntoro, Anwar Ujang, Jacob Sihasale, Maulwi Saelan, Ramang.
Jepang merasakan, Jepang mengetahui, Jepang memahami sepak bola-nya seperti apa, sebelum tahun 80-an, atau lebih parah sebelum 70-an. Revolusi sepak bola Jepang setelah Piala Dunia 1982, menghidupkan kompetisi, mendatangkan seniman-seniman sepak bola Brasil: Zico, Falcao.
Sepak bola adalah revolusi. Memahami kegagalan demi kegagalan, memahami metode demi metode yang stagnan. Imitasi terhadap metode yang berhasil, seperti dilakukan Perancis tidaklah salah.
Bahkan Jerman, Italia, Inggris, sebagai negara sepakbola besar, kini banyak dihuni oleh pemain-pemain naturalisasi dari Afrika. Melihat ke Belgia, Swedia, Swiss, tidak ketinggalan terdapat pemain-pemain kulit berwarna yang notabene adalah naturalisasi.
PSSI paham dengan prestasi Timnas yang terus menjadi “bulan-bulanan”. Meski hanya berhadapan dengan tim-tim sekelas regional. Apalagi berhadapan dengan tim dari kawasan Eropa dan Amerika Selatan.
“Tiada belajar, maka tak tahu jalan yang seharusnya”. Ketua Umum PSSI Erick Thohir beserta jajaran pengurusnya, mengerti sepak bola Indonesia. Harus dirubah di segala lini dengan cara lateral.
Bermain mengandalkan tenaga, lalu gagal di “finishing touch”, hanya menghabiskan ‘power’. Kekalahan di “injury time”, sering dialami karena tidak efektif mengolah bola.
Berpulang pada kualitas kompetisi. Jepang adalah contoh produk yang lahir dari kompetisi yang baik. Ayase Ueda, Koki Ogawa, adalah produk yang lahir dari situ.
Jalan pintas PSSI. Dengan menaturalisasi sejumlah pemain dari kompetisi Eropa, tepat. Tak ada pilihan lain, di samping “berbiaya murah”, sang pemain memiliki ‘proud’ bermain di sebuah Timnas. Simbiosa mutualisme.
Regulasi yang diinginkan pelatih Shin Tae Yong, juga Ketua Umum PSSI Erick Thohir, bagus. Pemain tersebut harus memiliki “ke-indonesiaan”. Artinya, ada “darah mengalir” pada si pemain. Mau setetes, dua tetes, tiga tetes. Lewat kakek, orang tua, keluarga, mereka akan dilirik untuk membela Timnas Indonesia.
Tentu saja, azas ‘ius soli’, atau ‘ius sanguinis’, termasuk yang menjadi acuan naturalisasi.
Apa yang dilakukan Perancis, apa yang dilakukan Indonesia. Bisa saja “pahit di lidah”. Pro dan kontra, mengecam naturalisasi akan muncul. Kritik tajam naturalisasi, sebagai hal yang negatif tak terhindarkan.
Namun naturalisasi pemain, sangat baik untuk mengobati “penyakit” akut sepak bola Indonesia.
Penyakit yang saya maksud di sini adalah. Kegagalan yang membosankan. Gagal “maning”, gagal “maning”. Satu kata, cukup.