OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
DIALAH seorang Hungaria. Laslo Polgar namanya. Suatu hari, Laslo menulis surat aneh kepada seorang wanita.
Laslo meminta wanita itu menjadi Isterinya. Dengan syarat, dia harus sepakat dengan Laslo. Bahwa, seorang anak genius, tidak dilahirkan. Tapi karena didikan dan pelatihan. Mereka menikah, dan punya anak.
Tidak ada bakat dan kehebatan bawaan, dalam bidang apa pun. Semua karena pelatihan. Laslo pun, memilih catur untuk ketiga anak-anaknya. Hasilnya?
Kita mulai dari anak bungsu, Judit Polgar. Dalam usia lima tahun, dia mengalahkan permainan catur sang ayah.
Tujuh tahun kemudian, di usia ke-12, Judit masuk dalam 100 pecatur terbaik dunia. Lebih “gila” lagi, belum berusia 16 tahun, Judit menjadi “grandmaster” termuda sepanjang sejarah dunia. Peringkat satu dunia, di tangannya.
Sofia Polgar, anak kedua Laslo. Usia 14 menjadi juara Dunia catur. Beberapa tahun kemudian menjadi “grandmaster”. “Workoholic”, tekun berlatih, menganalisis. Itulah Sofia Polgar.
Suatu hari sang Ayah meminta kepada Sofia. “Sofia, tinggalkan catur itu!” Sofia bergumam. “Ayah, catur ini tidak ingin aku kesepian!”
Seusai pertandingan Timnas Indonesia versus Laos (10/12). “Ayah” (Pelatih) Timnas Indonesia Shin Tae Yong (STY), meminta tolong media massa agar dapat membantunya. STY merasa “kesepian” dengan ketiadaan lini tengah, sekaligus “playmaker”.
Serius. Selama lima tahun lebih STY menjadi Pelatih Timnas Indonesia. Baru pertama “coach” asal Korea Selatan ini memohon. Ada hal mendesak yang “membahayakan” pertandingan Indonesia melawan Vietnam, Minggu (15/12).
Ketiadaan “playmaker” berstandard cerdas, taktis dan “workoholic”. Sekelas Ivar Jenner, atau Calvin Verdonk, sangat terlihat dalam pertandingan Indonesia melawan Laos.
Setidaknya dua gol Laos, lahir karena kelemahan lini tengah Timnas yang diisi oleh Arkhan Fikri, Rayhan Hannan, dan Dony Tri Pamungkas. Umpan-umpan ke lini depan yang kurang akurat, banyak dimanfaatkan Laos lewat serangan balik cepat.
Penyerang Indonesia, Raffael Struick dan Marselino Ferdinan nampak frustrasi dengan alur distribusi bola yang semrawut. Ditambah lagi dengan kepemimpinan wasit Hiroki Kasahara (Jepang) yang “kurang jeli” terhadap pelanggaran dan gol ke-3 Laos.
Saya teringat gol ke-2 Indonesia ke gawang Timnas Korea Selatan di Piala Asia U-23 lalu (Doha/Qatar) 2024. Distribusi bola Ivar Jenner jauh ke depan, disambut cerdik oleh Raffael Struick dengan berputar ke sisi samping. Mengecoh Lee Kang-hee, dan menjebol gawang Baek Jong-bum.
Saya juga teringat, betapa cekatannya Calvin Verdonk lewat ‘skill’nya menusuk kotak penalti Arab Saudi. Meski dihadang dan terjatuh. Verdonk masih sempat menyontek bola lamban yang disambut Marselino Ferdinan.
Tendangan Marselino ke gawang Arab Saudi membentur bek, dan sepakan kedua. Bola masuk. Arab Saudi, rangking 59 FIFA, terjungkal menyakitkan oleh kegigihan bek yang juga “playmaker” Calvin Verdonk.
Shin Tae Yong berharap Ivar Jenner datang di saat kritis, di mana Marselino Ferdinan terkena Kartu Merah. STY meminta tolong media, agar mendorong Klub liga atas Belanda FC Utrecht melepas sang “playmaker”, Ivar Jenner.
Hingga hari ini, tidak ada kabar tentang kedatangan Ivar Jenner. Pertandingan lawan Vietnam di Stadion My Dinh (Hanoi) besok malam. Rasanya, nihil Ivar Jenner akan datang.
Suka atau tidak, mau atau tidak. “Coach” Shin Tae Yong harus mengolah “hidangan” yang tersedia. Pilihan pengganti Marselino tinggal pada Hoki Caraka yang akan diduetkan dengan Raffael Struick.
Sementara untuk lapangan tengah, tak tersedia “grandmaster”, sekelas Ivar Jenner, Nathan Tjoa-A-On, atau Calvin Verdonk yang bisa bermutasi dari bek hingga ke tengah.
Arkhan Fikri, Rivaldo Pakpahan, dan Ahmad Maulana di lini tengah, masih jauh dari keyakinan pelatih STY. Untuk memastikan kemenangan “matchday” ke-3 nya melawan Vietnam. Namun, siapa tahu. STY membuat eksperimen yang manjur.
Namun, eksperimen bukanlah kepastian. Eksperimen, tidaklah eksak. Laslo tidak melakukan eksperimen terhadap Judit Polgar, Sofia Polgar, dan Susan Polgar. Laslo memberi kepastian, ketiganya pasti jadi pemenang.
Publik Indonesia. Seperti halnya Laslo Polgar membina anak-anaknya (anak didik), yaitu kepastian. Kepastian, menang bagi Timnas Indonesia lawan Vietnam.
Kita yakin, “coach” STY adalah pendidik (pelatih) yang baik. Seperti halnya Laslo Polgar mendidik anak-anaknya hingga juara dunia.