Oleh : Sabri Piliang
Wartawan Senior
“Once Upon A Time”. Sebuah memo tergeletak di meja kerja saya. “Besok ‘You’ berangkat ke Banda Aceh ya dengan penerbangan pertama,”kata Pemimpin Redaksi-ku.
Pagi yang dingin, saya terbangun pukul 03.00, tak sempat mandi. Bergegas menuju Bandara Soekarno-Hatta untuk tinggal landas pukul 05.50. Setahun “Tsunami” Aceh (2005), untuk sebuah reportase.
Penerbangan langsung, saya nikmati sebagai nostalgia, karena inilah reportase ke-2 di masa “Angin” perdamaian mulai semilir.
Perjalanan kali ini jauh lebih rileks, ketimbang penugasan pertama 12 tahun sebelumnya (1993). Saat pergolakan, masih membara. Khawatir tidak pulang ke rumah, menyeruak dalam benak. Reportase yang tidak ringan.
Membanding lebih satu dekade lalu (1993), tahun 2005, tak ada rasa waswas. Tsunami Aceh yang menyapu Ulelhe, Ulek Khareng, Aceh Jaya, Meulaboh, dengan perkiraan korban 250.000 jiwa tewas dan hilang, mengundang simpati kita semua.
Dari peristiwa ini. Perdamaian, pun mengemuka. Helsinki (Finlandia), sebuah negara Nordic (Skandinavia). Negara, di mana Matahari jarang terlihat, menjadi “rumah” perdamaian Aceh dengan Pemerintah RI.
Keberanian memasuki kawasan-kawasan pedalaman, untuk bertemu narasumber, adalah keniscayaan. Terutama setelah perdamaian digaungkan.
Setelah menempuh sekitar 2 jam dan 40 menit penerbangan langsung. Saya mendarat di Bandara Blang Bintang (Banda Aceh). Duduk di sebuah kedai, menyeruput kopi Aceh, semua terkenang peristiwa setahun lalu. Terlebih hari itu (26 Desember 2004), semua terbayang peristiwa kelam, harubiru, dan luluhlantak.
Cerita ketinggian air sepohon Kelapa, cerita saat tangan menggapai pucuknya namun kaki terjuntai air. Adalah kisah pilu karena hanya dirinya yang selamat. Anggota keluarga punah dan usai. Tinggal sebatangkara.
Menyusuri pesisir pantai: Lamno, Ulhek Kareng, Pantai Ulhele, Aceh Jaya, adalah pemandangan air semata ketika itu. Jalan yang masih terputus, membuat saya hanya sebatas Lamno, tak bisa melanjutkan ke Aceh Jaya.
Tsunami Aceh, 26 Desember 2004, telah melelehkan hikmah mendalam bagi bangsa Indonesia, dan khususnya rakyat Serambi Mekkah.
Lewat satu ‘Memorandum of Understanding (MoU) 15 Agustus 2005, lahirlah dengan apa yang disebut “Memorandum Helsinki”. Dimediasi oleh Presiden Finlandia Martti Ahtisaari dan dicetuskan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, pertikaian 30 tahun berakhir.
Lusa, 26 Desember 2024. Adalah 20 tahun, dua dekade. Atau dua dasawarsa Tsunami dengan 8,9-9 skala Richter. Telah membuka mata kita semua. Rakyat Aceh, sudah waktunya membangun secara “sustainable” (berkelanjutan).
Tak terasa peristiwa tersebut telah lama berlalu. Namun, tak ada salahnya kita mengingat kembali. Mengenang para Korban dan sekaligus mengirim doa. Semoga yang kuasa, memberi tempat terbaik di sisi-Nya. Amin.