OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
AMERIKA SERIKAT (AS) pernah keliru menilai! Filosofi dasar, permainan apa yang tengah mereka masuki? Siapa pun bisa keliru.
Seperti banyak perang yang melibatkan AS. AS mengandaikan Perang Vietnam, sebuah permainan dengan batas akhir yang pasti. Namun, AS dengan kekuatan ‘superpower’, gagal memahami siapa yang mereka lawan. Lalu, apa tujuan lawan, untuk melawan!
Ahli AS pada Kementerian Luar Negeri Vietnam Utara, Nguyen Co Thach. Sempat mengingatkan Menteri Pertahanan AS (Robert McNamara), pemahaman AS tentang Vietnam sangat buruk.
“Infinite Game”, buku karya Simon Sinek (Penguin Publishing Group/2019) menyebut, kekuatan Vietnam Utara bukanlah karena bantuan China atau Rusia (baca: Uni Soviet). “Kami bukan bidak China, atau Rusia,”kata Nguyen Co Tach (1960).
Di sinilah letak kekeliruan AS. Vietnam Utara berjuang demi kemerdekaan dan menyatukannya dengan Vietnam Selatan. Karena itu, Vietnam Utara bertekad “bermain” dengan AS, tanpa batas akhir.
“Sebanyak apa pun bom yang dijatuhkan. Sebesar apa pun tekanan yang diberikan AS. Tidak akan menghentikan kami. Kami akan bertempur hingga pejuang Vietnam terakhir,”kata Nguyen Co Thach.
Beberapa hari lalu, Hamas lewat jurubicaranya Hazem Qasim mengingatkan Israel. Hamas tak ingin kembali berperang. Namun, jika Israel meneruskan agresinya. Hamas tak punya pilihan!
Lebih dari 500 hari sudah, Israel-Hamas terlibat peperangan. Hamas yang jauh lebih “kecil” dibanding Israel. Sama seperti Vietnam Utara yang lebih kecil dari AS, dari segi apa pun. Masih belum bisa dikalahkan.
Penghancuran Kota Gaza oleh pesawat pembom Israel. Tidak linear dengan kekalahan pejuang Hamas. Penghancuran Gaza, lebih pada bentuk “kemarahan” dan kompensasi “acak” yang tidak tepat sasaran.
Peperangan selalu punya “deadline”. Punya titik finis! Sama seperti perang AS-Vietnam Utara, punya titik akhir. Titik akhirnya, AS kalah dan mundur terburu-buru tahun 1975.
Satuan infanteri AS bergegas “lari” menuju bandara, untuk naik pesawat terakhir meninggalkan Kota Saigon (Ho Chi Minh City). Meninggalkan pemimpin “bonekanya”: Duong Van Minh, Tran Van Huong, Huyn Thanh Phat yang akhirnya di hukum mati, dianggap pengkhianat oleh pejuang Vietnam Utara.
Bangsa Palestina, sama seperti bangsa Vietnam. Sama-sama memperjuangkan kemerdekaan. Sama-sama tak punya “deadline”. Bahkan, Hamas mengadopsi “Chu Chi” (terowongan bawah tanah Vietnam). Tak ada batas akhir. Berapa pun martir yang harus mati.
Perang Vietnam, telah menewaskan 1.000.000 penduduk Vietnam. Berbagai jenis bom, termasuk bom yang dilarang seperti “napalm” telah ditelan oleh rakyat Vietnam. Kegigihannya, telah melahirkan kemenangan dan mengusir penjajah.
Kedatangan PM Irlandia Micheal Martin menemui Presiden AS Donald Trump kemarin. Memberi warna baru untuk rakyat Gaza. Konsistensi Donald Trump goyah menyangkut pemindahan 2,5 juta rakyat Gaza. Trump merubahnya!
Israel yang belum lama menutup kedutaannya di Kota Dublin (ibukota Irlandia). Karena Irlandia mengecam Israel atas rakyat Palestina. Kini terpukul dengan statemen Trump terbaru saat bertemu sang PM.
Trump saat bersama PM Irlandia men-“declared”, “tak seorang pun akan mengusir siapa pun dari Gaza”. Ini bertentangan dengan statemennya beberapa bulan lalu, untuk merelokasi 2,5 juta rakyat Gaza ke Mesir dan Yordania.
Sebuah perubahan Trump yang merujuk pada logika publik. Atau, bisa jadi PM Irlandia Micheal Martin telah mengingatkan Trump. Bahwa tindakan Israel secara universal, tidak akan pernah dibenarkan oleh siapa pun.
Malah akan menjerumuskan AS pada logika yang salah.
Hamas, atau bangsa Palestina. Seperti halnya bangsa Vietnam. Tak akan pernah berhenti berupaya, hingga mencapai kemerdekaannya.
Diplomasi PM Irlandia, setidaknya telah membangunkan Presiden AS, Donald Trump. Bahwa kemerdekaan itu, tak mungkin bisa dihentikan.