DARA | MAJALENGKA – Lahan kritis di Indonesia mencapai 14,3 juta hektar. Porsi cukup besar berada di Provonsi Jawa Barat, khususnya Daerah Aliran Sungan (DAS) Cimanuk-Citanduy.
“Dan dampak lahan kritis ini menimbulkan berbagai bencana dengan kerugian materil dan nonmateril,” kata Dirjen PDASHL Kementerian LHK RI, Ida Bagus Putera Parthama, pada launching Rehabilitasi Lahan Kritis dan peresmian Pembibitan Permanen (PP), di Majalengka, Jawa Barat, kemarin, dilansir jabarprov.go.id.
Putera menjelaskan, jika lahan kritis berada di DAS, itu berarti daerah tersebut bisa dikatakan tidak sehat. DAS tidak sehat akan menyebabkan debit air sungai utama sangat tinggi manakala hujan turun, tetapi debit air akan sangat rendah ketika musim kemarau tiba.
“Jadi, ketika musim hujan dia kelebihan air tidak bisa menampung, sehingga terjadi banjir. Di musim kering — karena waktu musim hujan tidak bisa menampung — mata air juga tidak keluar air, sehingga kekeringan,” katanya.
Selain itu, DAS yang tidak sehat akan menggerus kualitas tanah dan menyebabkan hadirnya bencana alam seperti tanah longsor. “DAS yang tidak sehat menjauhkan rayat dari kesejahteraan,” ujar dia.
Menurut dia, inti problem lahan kritis berada pada tata ruang. Seharusnya, pembangunan disesuaikan dengan kondisi DAS yang ada, sehingga tidak mengubah lansekap atau bentang alam.
Oleh karena itu, Kementerian LHK menjalin kerja sama dengan Kementerian ATR/BPN RI guna membangun kesepahaman. “Jadi, daerah yang ingin melakukan revisi tentang tata ruang mesti mempertimbangkan atau memperhatikan area DAS,” katanya.***
Editor: Ayi Kusmawan