DARA | PALANGKARAYA – Kepala BNPB, Doni Monardo, mengungkapkan berdasarkan sejumlah temuan lapangan menunjukkan, 99% kebakaran hutan dan lahan (karhutla) adalah faktor kesengajaan manusia demi mendapatkan keuntungan dalam skala besar. Sedangkan faktor alam hanya 1%.
Karena itu, menurut Doni upayakan pencegahan karhutla, antara lain melalui pendekatan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Hal itu disampaikan Doni dalam rapat koordinasi karhutla bersama TNI, Polri, BPBD Provinsi Kalimantan Tengah, Satgas Cegah Karhutla, Balai PPI, dan Tim PDB, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, kemarin.
Berdasarkan pantauan langsung dari udara menggunakan helikopter BNPB, Doni juga menemukan, titik api terlihat lurus seperti saf, artinya kebakaran hutan itu disengaja karena polanya sangat terstruktur. “Ada indikasi dibakar dan si pembakar sudah mengerti tata letak dan arah angin. Kita harus bisa mengetahui siapa pelaku ini. Sudah berpuluh-puluh tahun terjadi seperti ini.”
Sedangkan faktor-faktor lain seperti munculnya angin puting beliung di beberapa titik di Kalimantan Tengah dan fenomena El Nino, menurut dia, bukan sesuatu yang membuat kebakaran ini muncul, melainkan hal lain yang memicu semakin meluasnya kebakaran. Karhutla seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah ini, murni akibat api yang disulut oleh pihak tertentu yang dibayar untuk suatu kepentingan.
“Kita harus bisa temukan pelakunya. Setelah itu dekati pelan-pelan lalu ajak bergabung ke dalam pihak kita menjadi satgas pencegahan api. Kita beri kesejahteraan mereka seperti yang telah BNPB lakukan kepada 1.215 satgas dengan Rp 145.000 per kepala”, kata Doni, dilansir bnpb.go.id, kemarin.
Selain itu, dia juga menawarkan cara lain dalam kaitan pendekatan kesejahteraan masyarakat dengan manfaatkan lahan ekonomis. Dalam hal ini Doni mencontohkan seperti budidaya berbagai tanaman lain yang lebih menghasilkan namun tidak membakar lahannya, seperti sagu, lidah buaya, pinang, bawang merah, nanas, cabai, kopi liberica dan sebagainya.
Kebakaran hutan dan lahan sudah menjadi bencana dengan kerugian terbesar dibanding peristiwa tsunami Aceh pada 2004 silam dengan perbandingan 8:16 untuk karhutla. Pada 2015, tercatat lahan seluas 2,6 juta hektar atau 5x Pulau Bali terbakar dengan total kerugian Rp221 triliyun.
Selain kerugian, karhutla juga membuat Indonesia banyak menanggung malu dari negara-negara tetangga yang terdampak seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darrusalam. Oleh karena itu negara butuh peran serta langsung dari berbagai pihak melalui pentahelix, untuk mencegah agar karhutla tidak semakin meluas dan bisa dituntaskan.
Sehingga, ke depan Kalimantan Tengah tidak mengekspor asap. Tapi mengekspor oksigen.
“Contohlah warga yang membudidayakan sagu seperti di wilayah Sungai Tohor, Meranti, Riau. Tidak hanya bahan pangan, tapi juga oksigennya bisa bermanfaat, bisa kita ekespor. Saya berharap Kalimantan Tengah juga bisa meniru hal yang sama agar kita yang disini juga menjadi lumbung pangan terbaik juga sebagai paru-paru dunia,” katanya.***
Editor: Ayi Kusmawan