DARA | JAKARTA – Wilayah calon Ibu Kota Negara Indonesia di Provinsi Kalimantan Timur berada pada zona tingkat risiko ancaman bencana rendah hingga sedang. Adapun ancaman risiko bencana yang bisa terjadi di antaranya dari hidrometeorologi.
Hal itu disampaikan Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Wisnu Widjaja, dalam konferensi pers Tim Intelijen Bencana, di Jakarta, tempo hari.
Berdasarkan data dari alat kaji potensi bencana InaRisk, ancaman risiko bencana yang bisa terjadi di antaranya dari hidrometeorologi seperti banjir, terutama di wilayah muara sungai. Tapi, menurut Wisnu, risiko tersebut bersifat dinamis, artinya bisa berkembang jika tata kelola ruang yang tidak baik, tidak memperhatkan kajian lingkungan, dan faktor urbanisasi.
Ia menyebutkan, ancaman bencana itu datang dari perilaku manusianya sendiri. Risiko ini dinamis, jika banyak manusia di sana bisa berkembang menjadi tinggi ancaman bencananya khususnya hidrometrologi, karena ini hubungannya dengan lingkungan.
“Kalau manusia masuk dan tinggal di wilayah DAS maka akan ada ancaman. Semua itu disebabkan oleh manusia,” ujar Wisnu.
Potensi ancaman gempa dan tsunami, menurut Pakar dan Peneliti Tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, berada pada level rendah hingga sedang. Berdasarkan kajian hipotesisnya, potensi risiko gempa dan tsunami ini merupakan dampak dari wilayah lain seperti dari Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
Sedangkan potensi tsunami akibat longsoran bawah laut, Widjo menyatakan ada tiga titik lokasi yang berpotensi di wilayah Selat Makassar dengan potensi kerawanan hanya 4%. “Misalpun ada, itu berasal dari wilayah lain seperti Sulawesi dengan tingkatan risiko rendah hingga sedang. Kendati demikian harus disimulasikan melalui pemodelan,” katanya.
Menyinggung potensi kebakaran hutan dan lahan, Plt Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Agus Wibowo tak menyangkal, Kalimantan Timur masih berada pada peringkat ke-5. Luas lahan yang terbakar di sana mencapai 4.430 hektar dari 34 provinsi di Indonesia.
Hal itu menjadi kajian yang akan menjadi perhatian khusus bagi pemerintah pusat serta pemerintah daerah dan semua unsur terkait. “Kaltim ini peringkat ke lima se-Indonesia. Kasus terparah ada di NTT,” ujar Agus.
Sementara menurut pemantauan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) melalui satelit, jumlah titik hotspot yang muncul di beberapa wilayah Kalimantan bukan selalu merupakan kebakaran hutan. Sedangkan perkiraan musim kemarau yang akan berakhir lebih lama dari tahun sebelumnya merupakan dampak dari fenomena El Nino.
Hal tersebut sekaligus menjadi faktor banyaknya titik hotspot yang terdeteksi di beberapa wilayah di Indonesia. “Hotspot bukan berarti kebakaran hutan dan lahan. Harus dipantau data hotspot selama tiga hari dan dilihat apakah ada tampilan asap di citra satelitnya untuk bisa menyimpulkan apakah itu kebakaran besar atau tidak. El Nino menjadi faktor penyebab meluasnya hotspot yang seperti terjadi sekarang ini,” ujar Indah Prasasti, Peneliti Penginderaan Jauh LAPAN.***
Editor: Ayi Kusmawan