Jika ada pertanyaan apa yang Anda ingat seusai Pemilihan Umum, Legislatif, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Pemilihan Presiden. Saya bisa memastikan jawaban terbanyak adalah pernyataan para calon presiden saat masa kampanye yaitu “Tampang Boyolali” Politisi Sontoloyo, dikompori, atau politisi gendoruwo
Masa kampanye khususnya para Capres dan Cawapres sudah berlangsung sejak September lalu. Lontaran pernyataan hingga kini masih belum ada pernyataan yang mengarah pada adu gagasan. Perdebatan kedua kubu masih terbatas pada lontaran-lontaran yang saling menyindir yang lebih tendensi pada pelemahan karakter masing-masing calon. Belum terlihat pernyataan yang mengarah pada adu gagasan. Tak lebih hanya saling mengolok-olok.
Perolokan diantara elite partai pendukung dan bahkan diantara Capres, yakini saja tak bakal memberikan nilai tambah bagi kecerdasan rakyat. Rakyat dalam konsep sosial hanya mendapat sajian tontonan yang akan merangsang emosi kemarahan dan saling curiga. Padahal di sisi ceruk paling dalam, rakyat berharap mendapat pendidikan politik yang sehat dan mencerdaskan.
Lontaran sindiran yang nyinyir hadir di ruang publik yang boleh jadi meresahkan. Rakyat sebagai penerima informasi apapun kelas sosialnya, mereka berhak mendapat pendidikan politik dari kampanye ini dan bukan semata istilah yang membuat kegaduhan.
Dalam kampanye Pilpres seyogyanya masing-masing kubu menghadirkan perdebatan yang menguntungkan rakyat. Jelaskan kepada rakyat bagaimana kita mengatasi masalah yang ada dan bagaimana bangsa ini ke depan. Jangan hadirkan ke ruang publik ‘politik kompor gas’ yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Jika boleh menilai, munculnya sindirian yang nyinyir ke ruang publik tidak serta merta datang dengan sendirinya. Semua punya andil, baik masyarakat, Jokowi dan Prabowo, dan politisi kedua kubu.
Sejujurnya masyrakat kini nyaris tak mendapat nilai apapun dari sirtuasi itu. Rakyat hanya mendapat rasa kecewa dan marah. Pertanyaanya apakah situasi ini sengaja diciptakan oleh kedua kubu Capres/Cawapres?
Sepertinya kita patut kembali pada kultur rakyat Indonesia yang multikultur. Apakah mungkin atau bisa rakyat Indonesia – semua suku– yang toleren menghadirkan olok-olok yang dapat mengusik kemarahan. Rakyat Indonesia semua suku terkenal ramah, toleran dan tidak mau menyinggung satu sama lainya. Namun fakta yang terjadi saat ini lontaran pernyataan yang memancing rasa marah kerap kita dengar dalam berbagai sajian acara televisi ataupun panggung event politik yang sengaja digelar.
Sebut saja Capres adalah bapak rakyat. Jika begitu, janganlah kemudian menumbuhkan rasa seperti teori oedipus complex yang menyatakan bahwa anak lelaki menaruh benci pada ayahnya, atau seperti pada hasil penelitian psikologi di Kepulauan Trobriand Papua Nugini yang menyatakan anak laki-laki membenci paman dari pihak ibunya.
Jika begitu haruskah para Capres dan Cawapres atau para Tim Suksesnya pada Pemilu ke depan memahami psikologi lintas budaya sehingga saat mereka “menjual” barang daganganya menggunakan perspektif kultural sosial yang multidimensional dan kemajemukan sosial. Ini di Indonesia perlu dilakukan. Jika tidak saya khawatir NKRI bisa terbelah gara-gara kampanye Pilpres yang tidak mengindahkan prinsip prinsip dan teori psikologi sosial yang komprehensip. ***