DARA | BANDUNG – Konsep sebuah pembangunan wilayah jangan terlepas dari penataan ruang, karena setiap pembangunan akan mengorbankan wilayah. Baik wilayah hijau, kuning, maupun wilayah abu-abu.
“Semua bisa berubah bila dipaksakan dengan alasan pemerataan pembangunan,” kata konsultan tata ruang, A. Karyono, Rabu (11/9/2019).
Ia mencontohkan, wilayah Kecamatan Bojongsoang Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang dulu dikenal sebagai centra budidaya perikanan darat, sedikit demi sedikit berubah fungsimenjadi kawasan perumahan. “Mungkin kemarin masih bisa melihat lebarnya kolam di jalan desa. “Tapi besok, sebagian menjadi urugan tanah karena dipersiapkan untuk perumahan elite,” ujarnya.
Alih fungsi lahan tersebut, menurut Karyono, akibat pemiliknya tergiur tawaran harga yang disodorkan pengusaha. Lahan yang dulunya hijau berubah menjadi abu-abu.
Padahal, lanjut dia, ada empat fakta perlunya hukum tata ruang diperlukan. Ruang pada dasarna tidak bertambah, sifatnya tetap. Sedangkan kebutuhan terus bertambah.
Ia yakin, konsekuensi bertambahnya kebutuhan ruang, antara lain adalah timbulnya konflik, sengketa, friksi, dan benturan antara satu pihak dengan pihak lain. Masyarakat, lanjut dia pila, butuh kepastian waktu bisa menempati ruang.
Karena itu, kerap kali terjadi kesenjangan antara orang yang memiliki akses ruang dengan masyarakat yang terbatas akses pada ruang. Inilah, ia menambahkan, tujuan hadirnya hukum tata ruang yang sebenarnya, yakni untuk menjamin kepastian hukum.
Sedangkan kepastian hukum, menurut dia, merupakan pedoman penerbitan izin kepemilikan ruang. “Sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan ruang dengan metode perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian yang diharapkan munculnya hasil positif berupa keteraturan,” katanya.
Tapi semua aturan itu, menurut Karyono, berubah setelah kebutuhan ekonomi menjadi prioritas pemilik lahan. “Pemilik lahan menjualnya tanpa berpikir akan dampak dari alih fungsi tetsebut,” katanya.***
Wartawan: Fattah | Editor: Ayi Kusmawan