Ribuan kasus TBC ditemukan di Kabupaten Cianjur. Jumlah kasus tahun ini lebih banyak dibandingakn tahun sebelumnya.
DARA | CIANJUR – Penemuan kasus penderita tuberculosis (TBC) di Kabupaten Cianjur, Jawa barat cukup tinggi menjelang akhir tahun. Pada triwulan ketiga, sudah ditemukan 3.633 kasus TBC yang tersebar di daerah ini.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes (Dinkes) Kabupaten Cianjur, Rostiani Dewi, menilai tingginya temuan tersebut, menjadi sesuatu yang baik dalam upaya pengentasan persebaran TBC.
“Dengan semakin banyak kasus yang ditemukan, ini menjadi baik untuk merealisasikan penurunan angka TBC di Cianjur pada 2030 mendatang. Temukan sebanyak-banyaknya, eliminasi, dan obati,” ujar Dewi, kepada wartawan, Jumat (25/10/2019).
Ia akui, temuan kasus tahun 2019 naik dari pada tahun sebelumnya. Tahun ini, tercatat ada 219 orang yang diobati, 138 di antaranya dirujuk ke fasilitas kesehatan, kemudian 23 orang dinyatakan sembuh setelah berobat, 17 orang meninggal dunia, dan 53 orang masih dalam perawatan.
Dewi mengungkapkan, pihaknya terus fokus untuk menekan jumlah penderita TBC, meskipun masih dijumpai banyak kendala di lapangan untuk merealisasikan Cianjur bebas TBC. Hal itu, menurut dia, dipengaruhi kesadaran dan kepatuhan penderita untuk menjalani pengobatan.
Menurut dia juga, tidak sedikit penderita TBC yang tidak konsisten menghabiskan obat mereka sesuai jangka waktu yang ditentukan. Penderita sering merasa sudah sehat meskipun baru mengonsumsi obat kurang dari enam bulan.
“Jadi, mereka berhenti meminum obat sampai tuntas. Padahal, pola yang seperti itu justru berbahaya,” ujarnya.
Jika pengobatan tidak tuntas maka penderita harus memulai kembali pengobatan dari awal. Jika kondisi tersebut terus berlangsung, ia khawatir penderita akan menjadi resisten terhadap obat, sehingga penyakit lebih sulit untuk disembuhkan.
Ia juga khawatir penderita dapat menjadi pengidap TB Multidrug Resistant (MDR). Dewi menuturkan pula, jika sudah memasuki tahapan tersebut maka penderita harus menjalani perawatan dalam jangka waktu lebih panjang, yakni dua tahun.
Bahkan, lanjutnya, penderita perlu mengonsumsi obat hingga 20 tablet per hari ditambah dengan pengobatan suntik sehari sekali selama dua tahun. Risiko itu harus dihindari oleh penderita yang tidak resisten terhadap obat.
”Makanya perlu ada pengawas minum obat (PMO) di keluarga, tidak perlu kader yang melakukan. Supaya kepatuhan obat lebih terawasi dan jumlahnya terus meningkat,” ucapnya.
Dewi berharap masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Soalnya, ia khawatir, terjadi penularan TBC tanpa diduga.
Saat ini pun, proses pemeriksaan hingga pengobatan TBC digratiskan. Sehingga, masyarakat tidak perlu ragu untuk memeriksakan diri jika ada indikasi penyakit itu.***
Wartawan: Purwanda | Editor: Ayi Kusmawan