Ustaz Abdul Somad alias UAS resmi berpisah dengan istrinya bernama Mellya. Pengadilan Agama Bangkinang menjatuhkan vonis cerai itu. Lantas apa alasannya?
DARA | JAKARTA – Perceraian itu mengagetkan publik. Maklum, UAS adalah da’i kondang yang digemari jutaan jemaah. Seraya begitu mereka bertanya-tanya apa yang menjadi latarbelakang keretakan rumahtangga UAS dan Mallya hingga berujung ke perceraian.
Sejumlah media memberitakan, sedikitnya ada sejumlah alasan yang diajukan UAS, yaitu bahwa Mellya jarang mau menerima nasihat baik dari UAS. Mellya tidak patuh kepada UAS, Mellya sering berprasangka tidak sehat terhadap UAS dan Mellya sudah tidak berkomunikasi dengan baik dengan UAS. Bahkan, disebutkan juga Mellya tidak mau memakai kerudung panjang.
Fakta lain terungkap di persidangan Pengadilan Agama Bangkinang. Ada seorang teman UAS mengaku diutus UAS untuk meminta buku nikah ke Mellya. Disebutkan buku nikah itu untuk kepentingan mengurus dokumen ke Australia. Saat itu antara Mallya dan UAS sudah pisah ranjang.
Dikutip dari detikcom, menurut teman UAS itu, Mellya mau menyerahkan buku nikah itu dengan syarat, lembaran pertama harus diganti mobil dan lembaran kedua sebuah ruko. Pihak UAS tidak membantah keterangan saksi tersebut.
Kuasa Hukum UAS, Hasan Basri mengatakan, saksi tidak mungkin bohong karena sudah di bawah sumpah.
Namun, semua itu dibantah pihak Mellya. Menurut kuasa hukum Mellya yaitu Nurhasmi, tidak ada Mellya menyatakan persyaratan menyerahkan buku akad nikah harus memberikan mobil dan ruko.
“Istrinya hanya menolak memberikan buku akad nikah, karena yang datang tersebut teman UAS tanpa ada surat kuasa. Sementara ini kan soal dokumen penting. Karena tidak ada surat kuasa, makanya istrinya menolak memberikan buku nikah tersebut. Tidak benar kalau meminta mobil dan ruko, itukan versi mereka saja,” kata Nurhasmi. Masih dikutip dari detikcom.
Sementara itu Mellya mengatakan, tidak ada asap kalau tidak ada api. Menurutnya, penyebab retaknya rumah tangganya karena ada perempuan ketiga di rumah tangga mereka.
Mellya menyodorkan berbagai bukti chatting antara UAS dengan perempuan Malaysia inisial LA yang membuatnya cemburu. Bahkan, dalam chatting itu, UAS mengajak LA menikah di Thailand. Namun PA Bangkinang menolak bukti itu karena belum dilakukan uji digital forensik.
Berikut isi pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Bangkinang yang mengabulkan gugatan cerai UAS:
Mengenai siapa yang penyebabkan perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga Pemohon (UAS) dan Termohon (Mellya), dalam hal ini majelis juga sependapat dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 38 K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991 yang mengandung abstraksi hukum bahwa tidak perlu lagi mempertimbangkan siapa yang menyebabkan timbulnya perselisihan tersebut, melainkan ditekankan pada keadaan itu sendiri, apakah telah pecah/retak dan sulit dipertahankan.
Dan jika hakim telah yakin pecahnya hati kedua belah pihak yang berperkara yang menyebabkan pecahnya rumah tangga mereka, maka berarti telah terpenuhi maksud Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
Majelis hakim perlu mengemukakan ketentuan Hukum Islam di dalam Kitab At-Tolak Fi Syari’atil Islamiyah Wal Qanun halaman 40 yang selanjutnya diambil alih sebagai pendapat majelis, berbunyi sebagai berikut:
Bahwa sebab-sebab dibolehkannya perceraian adalah adanya hajat untuk melepaskan ikatan perkawinan, ketika terjadi pertentangan akhlak dan timbulnya rasa benci di antara suami-istri yang mengakibatkan tidak adanya kesanggupan untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT.
Menimbang, bahwa dari apa yang diuraikan di atas, maka majelis hakim berpendapat pintu perceraian dapat dibuka guna menghindarkan para pihak dari kemelut rumah tangga yang berkepanjangan yang akan membawa mudharat kepada kehidupan Pemohon dan Termohon apabila rumah tangga dipertahankan, sedangkan kemudharatan harus tetap disingkirkan sebagaimana kaidah fiqhiyah yang berbunyi sebagai berikut:
Secara sosiologis suatu perkawinan yang di dalamnya sering terjadi perselisihan dan pertengkaran akan sulit untuk mewujudkan rumah tangga bahagia yang penuh rahmah dan kasih sayang seperti yang diharapkan setiap pasangan suami istri, justru sebaliknya mempertahankan perkawinan seperti itu (rumah tangga yang sudah pecah/retak) bisa menimbulkan dan mengakibatkan akibat negatif bagi semua pihak dan kesemuanya itu bisa mendatangkan mudharat, oleh karena itu harus dicari kemaslahatannya (yang terbaik).
Hal ini sesuai pula dengan kaidah fikih yang berbunyi sebagai berikut:
Mengantisipasi dampak negatif harus diprioritaskan daripada mengejar kemashlahatan (yang belum jelas). Apabila berlawanan antara satu mafsadat dengan mashlahat, maka yang didahulukan adalah mencegah mafsadatnya.
Majelis hakim berpendapat dengan meneruskanrumah tangga yang sudah tidak harmonis hanya akan membuat salah satu pihak atau bahkan kedua belah pihak dalam keadaan teraniaya (dzulm), maka hal tersebut merupakan bukti adanya kemudhoratan dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon, maka sudah sepatutnya kemudhoratan tersebut dihilangkan.
erkait hal tersebut, majelis hakim sependapat dengan pendapat ahli hukum Islam dalam kitab Madza Hurriyat Azzaujaini Fii Athalaq, Juz 1, halaman 83 yang diambil alih oleh majelis hakim sebagai pendapat sendiri:
Islam memilih lembaga talak/perceraian ketika rumah tangga sudah dianggap goncang serta dianggap sudah tidak bermanfaat lagi nasehat perdamaian dan hubungan suami istri menjadi tanpa ruh (hampa) sebab dengan meneruskan perkawinan berarti menghukum salah satu suami isteri dengan penjara yang berkepanjangan. Hal ini adalah aniaya yang bertentangan dengan semangat keadilan.
Majelis hakim perlu mengambil alih pendapat Dr Musthafa As-Siba’i dalam Kitab Al-Mar’ah bainal Fiqh wal Qanun halaman 100 yang artinya sebagai berikut:
Sesungguhnya kehidupan suami istri tidak akan tegak dengan adanya perpecahan dan pertentangan, selain itu justru akan menimbulkan bahaya yang serius terhadap pendidikan anak-anak dan perkembangan mereka, dan tidak ada kebaikannya mengumpulkan dua orang yang saling membenci. Dan kadang-kadang apapun sebab-sebab timbulnya ini, baik yang membahayakan atau patut dapat diduga perselisihan membahayakan, sesungguhnya yang lebih baik adalah mengakhiri hubungan Allah SWT menyediakan bagi mereka pasangan lain dalam hidupnya, barangkali dengan pasangan baru itu diperoleh ketenangan dan kedamaian.***
Editor: denkur | Sumber: detikcom