Masalah longsor dan banjir akan terus berkelanjutan. Sementara solusi yang diberikan pemerintah hanya berupa perencanaan yang bisa jadi akan dilakukan tahun 2020 nanti dengan alasan penyesuaian anggaran.
DARA | BANDUNG – Human error jadi selalu sasaran tudingan atas kerusakan dan bencana alam. Kata-kata itu itu dikonotasikan sebagai kesalahan masyarakat yang seolah lalai dan tidak mengindahkan hukum alam dan tata ruang.
Demikian kata anggota anggota DPRD Jawa Barat, H. M. Dadang Supriatna, saat dimintai tanggapannya terjadinya bencana di wilayah Kabupaten Bandung. Menurut dia, tidak perlu saling menyalahkan satu sama lain saat menghadapi bencana atau kerusakan alam.
“Lebih baik sekarang kita duduk bersama membahasnya, mencari solusinya dengan melibatkan masyarakat, stakeholders, pegiat lingkungan, dan instansi-instansi terkait,” kata Dadang, kepada dara.co.id, Rabu (18/122019) pagi.
Ia membenarkan, masalah kerusakan alam bisa ditudingkan kepada human error. “Tapi manusia mana yang sebenarnya bersalah itu. Itu harus jelas arahnya dan jangan terus menyalahkan masyarakat,” ujarnya.
Masyarakat yang berada di di bagian hulu, lanjut dia, banyak yang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara bercocok tanam. Jika salah dalam memanfaatkan lahan, menurut dia, harusnya pemerintah bisa mempersiapkan lahan pengganti untuk sumber mata pencaharian masyarakat.
“Dengan demikian penanaman pohon keras bisa dilakukan secara maksimal,” ujarnya.
Dia merasa prihatin atas kondisi alam Kabupaten Bandung sekarang. Beberapa bencana tak hentinya melanda daerah ini. Tahun 2018 banjir bandang di Kecamatan Cimenyan, tahun 2019 di Pangalengan dan di Kecamatan Kertasari.
“Juga longsor sekarang di Sungapan Kecamatan Soreang. Itu jelas akibat kerusakan tata ruang,” katanya pula.
Menurut dia, bisa jadi masalah longsor akan terus berkelanjutan, demikian juga dengan banjir bandang. Sementara solusi yang diberikan pemerintah hanya berupa perencanaan yang bisa jadi akan dilakukan tahun 2020 nanti dengan alasan penyesuaian anggaran.
“Sebab tahun 2019 ini sudah terserap sesuai dengan penempatannya. Selanjutnya alokasi tersebut cukup ditandai saja. Tanpa memperhitungkan kalau pengabaian itu bisa mengakibatkan bencana susulan,” ujar Dadang.
Dia, menilai selama ini pemerintah hanya menghamburkan anggaran dengan membiayai konsultan pengawasan dan pengendalian. “Bagaimana hasil analisis mereka, apa hasil evaluasinya, selanjutnya verifikasi hingga solusinya, tidak pernah tepat sama sekali,” ujar dia.
Dia menambahkan, untuk menciptakan sinergisitas itu tidak bisa dilakukan secara individual. Masih ada, lanjutnya, yang harus dilibatkan dalam setiap pembangunan, yakni masyarakat.
Mestinya, menurut dia juga, dari beberapa kejadian itu bisa dijadikan cermin untuk bersikap bijak terhadap alam. Sehingga hukum tata ruang yang mencakup air, bumi, udara, dan langit bisa harmonis.***
Editor: Ayi Kusmawan