Menikmati liburan Nataru di puncak selain mengasyikkan juga akan menimbulkan tersendiri bagi pendaki. Namun, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan jika berencana melakukan pendakian di musim hujan. Ini imbauan dari Kantor SAR Bandung …
BANYAK cara orang memanfaatkan libur Natal dan Tahun Baru (Nataru). Bagi para pecinta alam, libur akhir tahun biasanya dimanfaatkan untuk kegiatan mendaki gunung karena dinggap menyenangkan dan menantang.
Namun, jika tidak terbiasa mendaki gunung maka seseorang bisa saja mendapat musibah. Salah satunya yang sering terjadi adalah tersesat.
Seorang profesional pun bahkan bisa mengalami hal ini. Terlebih di musim hujan.
Musim hujan memang kerap dijadikan larangan bagi orang untuk melakukan pendakian. Pasalnya, kondisi tanah dan bebaturan di gunung yang terguyur hujan dinilai cukup berbahaya karena kondisinya licin saat dipijak.
Namun, bagi yang ingin tetap mendaki gunung, Kepala Kantor SAR Bandung, Deden Ridwansah, mengimbau agar mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari fisik, peralatan, hingga pengetahuan atau pengenalan terhadap gunung yang akan didaki.
“Kalau semisal saat mendaki gunung orang tersebut tersesat, mereka harus lakukan STOP. Stop ini istilah, S itu Sit (duduk), T itu think (berpikir), O itu observasi, dan P jangan panik,” kata Deden saat dihubungi dara.co.id melalui telepon selulernya, Kamis (19/12/2019).
Menurut Deden, istilah STOP ini harus betul-betul dikuasai oleh para pendaki atau pecinta alam. STOP sangat berguna bagi pendaki yang tersesat atau terpisah dari kelompoknya saat melakukan pendakian.
“Kalau merasa tersesat, berhenti dulu. Jangan dilanjutkan perjalanan atau pendakiannnya. Setelah berhenti dan menenangkan diri, pendaki tidak boleh panik. Dengan kondisi yang tenang, si pendaki akan bisa berpikir jernih. Pendaki akan mampu berpikir lebih rasional dibanding saat pendaki tengah panik,” ujarnya.
Setelah tenang dan berfikir, lanjut dia, pendaki bisa melakukan observasi. Dengan observasi melihat kondisi sekitar, pendaki tidak akan lebih jauh tersesat, sehingga lambat laun ia akan bisa mencari jalan keluarnya.
“Selain itu, untuk mengantisipasi risiko kecelakaan di gunung, pendaki pemula juga dilarang untuk tidak membuka jalan baru atau mengakses jalan yang memang memiliki medan yang berat,” katanya.
Baik pendaki pemula maupun pendaki profesional, Deden mengimbau agar tetap berkoordinasi dan berkomunikasi dengan petugas pengelola kawasan gunung tersebut. Ia juga meminta para pendaki yang akan melakukan pendakian ke gunung di wilayah Jawa Barat, untuk melapor terlebih dahulu ke Kantor SAR Bandung, tiga hari sebelum melakukan pendakian.
“Ini untuk mengantisipasi apabila sewaktu-waktu ada musibah. Laporkan data diri beserta kelompoknya dan juga nomor kontak ke kami, juga ke petugas pengelola wilayah. Jadi bisa mempermudah kami untuk berkoordinasi,” ujarnya.
Deden menambahkan, pendaki juga harus memiliki alat Personal Locator Beacon (PLB), yang merupakan alat suar pemancar sinyal marabahaya yang bisa diaktifkan saat pemilik PLB mengaktifkannya. Sehingga, petugas penyelamat dapat segera menemukan lokasi pemilik PLB dan segera melakukan pertolongan.***
Wartawan: Muhammad Zein | Editor: Ayi Kusmawan