DARA| JAKARTA – Aplikasi pinjaman online alias fintech peer to peer lending merebak di Indonesia. Masyarakat dimudahkan mendapat uang pinjaman. Syaratnya tak berbelit seperti pinjam ke bank, cukup melampirkan salinan KTP, lembar pertama buku tabungan dan dokumen lainnya. Saking mudahnya mendapat pinjaman, banyak yang memiliki lebih dari satu aplikasi pinjaman untuk menutupi utang sebelumnya.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan, diduga ada pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan aplikasi tersebut. “Besaran uang pinjaman dari aplikasi tersebut rata-rata tak lebih dari Rp2 juta. Namun, saat penagihan, bunganya yang sangat tinggi, sehingga untuk menutupinya meminjam ke aplikasi lain, sehingga satu rang bisa memiliki puluhan akun apalikasi pinjaman,” ujarnya.
Selain bunga yang sangat tinggi, lanjut Jeanny, biaya adminnya juga tidak jelas. Bahkan, penagihan tak hanya dilakukan kepada peminjam, tapi ke seluruh kontak telepon yang tersimpan di ponsel peminjam. Jika peminjam menunggak bayaran, petugas dari aplikasi pinjaman online akan membuat grup WhatsApp yang isinya daftar kontak telepon dari peminjam. Di grup tersebut, petugas di aplikasi pinjaman online itu akan menyebarkan foto KTP peminjam disertai dengan kalimat bahwa orang tersebut meminjam uang dengan jumlah sekian. “Ada peminjam yang misalnya minjam Rp 1 juta, tapi dibilang di grup dia pinjamnya Rp 3 juta, Ada fitnah di situ,” kata Jeanny.
Nomor kontak di ponsel itu didapatkan petugas karena mengakses data pribadi peminjam tanpa izin. Petugas juga menyebarkan data pribadi seperti foto KTP, nomor rekening, hingga lembar pertama buku tabungan secara tak bertanggung jawab. Selain itu, peminjam juga mendapatkan ancaman, fitnah, penipuan, hingga pelecehan seksual di saat petugas aplikasi menagih pembayaran kembali.
LBH juga menemukan bahwa kontak dan lokasi kantor penyelenggara aplikasi pinjaman online tidak jelas atau tidak terdaftar. Ada pula pengaduan berupa sistem yang tidak dikelola dengan baik sehingga ketika peminjam sudah membayar pinjamannya, namun pinjaman tak dihapus dengan alasan tidak masuk dalam sistem. “Di sistem tidak ada pencatatan yang jelas. Penagihannya juga dilakukan orang yang berbeda, sehingga saat peminjam sudah mengonfirmasi sudah dibayar, siangnya ada yang menelepon lagi bilang belum dibayar,” kata Jeanny.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menghimpun 14 dugaan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan aplikasi pinjaman online alias fintech peer to peer lending. Hingga 25 November 2018, LBH Jakarta menerima 1.330 aduan atas dugaan pelanggaran tersebut. “Kalau di awal kami sempat inventarisir delapan jenis pelanggaran aplikasi pinjaman online, setelah adanya pengaduan, kami temukan pelanggaran lainnya,” ujar Pengacara publik LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait di kantor LBH Jakarta, Minggu (9/12/2018). ***
Editor: denkur