DARA | JAKARTA – Defisit US$2,05 yang membebani neraca perdagangan, Nobember kemarin, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, disebabkan kinerja ekspor memble akibat banyaknya tantangan eksternal yang dihadapi, terutama tantangan dari China. “Pertumbuhan ekonomi China diprediksi kian melambat hingga akhir tahun, sehingga ekspor Indonesia ke China pun tidak optimal,” ujarnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, ekspor Indonesia ke China November turun US$153,8 juta ketimbang bulan sebelumnya. Penurunan terjadi menyusul pelemahan pertumbuhan ekonomi China di kuartal III lalu yang hanya mencapai 6,5 persen atau melemah dibanding kuartal sebelum 6,7 persen.
Selain itu, saat ini China juga tengah melakukan penyesuaian kebijakan di internalnya dan kinerja industri manufakturnya masih dibayang-bayangi oleh perang dagang dengan Amerika Serikat (AS). Jika produksi melambat, kebutuhan bahan baku impor dari Indonesia juga kian berkurang.
“Beberapa komoditas Indonesia, maupun pasar tempat Indonesia untuk mengekspor harus dilihat hati-hati karena pertumbuhan ekonomi China dalam adjustment,” jelas Sri Mulyani di kantornya, dilansir dari CNN, Senin (17/12).
Tak hanya itu, saat ini pertumbuhan ekonomi global diproyeksi akan melemah dan akan berlanjut di tahun depan. Ia mencontohkan, International Monetary Fund (IMF) sebelumnya memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya mencapai 3,7 persen dari ramalan sebelumnya 3,9 persen.
Begitu pun dengan para pemimpin negara-negara G-20 yang memprediksi penurunan pertumbuhan ekonomi tahun depan. Jika pertumbuhan ekonomi mengetat, permintaan impor dari Indonesia juga berkurang.
Makanya, Indonesia perlu berhati-hati dalam mencari pasar ekspor baru dan dengan komoditas yang sangat sensitif dengan isu di luar ekonomi.
“Dengan ekonomi yang tendensinya melemah di pasar-pasar tujuan baru, kemungkinan menyerap ekspor di sana akan terbatas. Tentu Indonesia juga harus hati-hati untuk mengelolanya, terutama external account Indonesia,” jelas Sri Mulyani.
Di tengah kondisi ekspor yang masih lesu, maka pemerintah punya pekerjaan rumah dalam menghalau impor masuk. Sejauh ini, implementasi kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) 22 impor bagi 1.147 pos tarif demi menekan impor barang konsumsi diklaim pemerintah sudah efektif.
Data BPS menunjukkan penurunan impor barang konsumsi sebesar 4,7 persen secara bulanan pada November silam. Hanya saja, harus ada perhatian khusus dari industri non-migas dan migas agar impor bahan baku manufaktur dan migas bisa ditekan.
Meski, pada bulan lalu, impor migas dan impor bahan baku masing-masing turun 2,8 persen dan 4,14 secara bulanan. “Tentu kalau sektor migas dan non-migas ini memperhatikan industri dalam negeri untuk substitusi,” ujarnya.
BPS mencatat defisit neraca perdagangan pada November kemarin di angka US$2,05 miliar. Secara tahun kalender, defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai US$7,51 miliar sepanjang 2018 ini.
Hal ini disebabkan karena nilai impor yang lebih besar dari ekspornya. Impor pada bulan lalu tercatat US$16,87 miliar sementara ekspor hanya bertengger di US$14,83 miliar. Kinerja ekspor November sendiri terbilang melemah 6,69 persen dibanding Oktober.***
Editor: denkur
Bahan: CNN