DARA | Setelah menghantam Palu, tsunami juga menerjang Selat Sunda. Ratusan nyawa melayang, ribuan terluka dan puluhan orang dinyatakan hilang. Sisi lain ribuan rumah porak poranda dan puluhan hotel dan gedung luluh lantak, Sabtu malam (22/12/2018).
Jumat (21/12/2018) sekitar pukul 13.51 WIB, BMKG mengumumkan erupsi gunung anak Krakatau dengan status level Waspada. Kemudian esok harinya, (22/12/2018) pukul 07.00 WIB, BMKG juga mengumumkan peringatan dini potensi gelombang tinggi akan terjadi di Selat Sunda.
“Diperkirakan gelombang tinggi terjadi kemarin tanggal 21 hingga nanti 25 Desember 2012. Ini peristiwa beda tapi terjadi pada lokasi yang sama,” ujar Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers di gedung BMKG, Jakarta, Minggu (23/12/2018) dini hari.
Sekitar pukul 09.00-11.00 WIB, tim BMKG melakukan uji coba instrumen. “Di situ memang terverifikasi terjadi hujan lebat dengan gelombang dan angin kencang,” ujarnya.
Kemudian Sabtu 22 Desember 2018, BMKG deteksi gunung Krakatau alami erupsi lagi sekitar pukul 21.03 WIB. Di satu sisi sejumlah tide gauge (alat pendeteksi tsunami) BMKG, menunjukkan ada potensi kenaikan permukaan air di pantai sekitar Selat Sunda.
Daerah yang terdampak adalah permukiman dan kawasan wisata di sepanjang Pantai seperti Pantai Tanjung Lesung, Sumur, Teluk Lada, Penimbang dan Carita. Saat kejadian banyak wisatawan berkunjung di pantai sepanjang Pandeglang.
Krakatau yang Selalu Dasyat
Gunung Krakatau tahun 1883 pernah meletus, Tepatnya tanggal 26 Agustus 1883. Cukup dasyat hingga meruntuhkan kaldera serta dua pertiga bagian Krakatau runtuh dan melenyapkan sebagian besar pulau di sekelilingnya.
Letusan Krakatau saat itu adalah salah satu letusan gunung api paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah, menimbulkan setidaknya 36.417 korban jiwa, karena memang dibarengi tsunami. Sedangkan letusannya dirasakan di seluruh penjuru dunia.
Sebelum letusan 1883, aktivitas seismik di sekitar Krakatau sangat tinggi, menyebabkan sejumlah gempa bumi yang dirasakan hingga ke Australia. Pada 20 Mei 1883, pelepasan uap mulai terjadi secara teratur di Perboewatan, pulau paling utara di Kepulauan Krakatau.
Pelepasan abu vulkanik mencapai ketinggian hingga 6 km dan suara letusan terdengar hingga ke Batavia (sekarang Jakarta), yang berjarak 160 km dari Krakatau. Aktivitas vulkanik menurun pada akhir Mei, dan tidak ada aktivitas lebih lanjut yang tercatat hingga beberapa minggu ke depan.
Letusan kembali terjadi pada 16 Juni, yang menimbulkan letusan keras dan menutupi pulau dengan awan hitam tebal selama lima hari. Pada 24 Juni, angin timur yang bertiup membersihkan awan tersebut, dan dua gulungan kabut asap terlihat membubung dari Krakatau.
Letusan ini diyakini telah menyebabkan munculnya dua ventilasi baru yang terbentuk di antara Perboewatan dan Danan. Aktivitas gunung juga menyebabkan air pasang di sekitarnya menjadi sangat tinggi, dan kapal-kapal di pelabuhan harus ditambatkan dengan rantai agar tidak terseret laut.
Guncangan gempa mulai terasa di Anyer Jawa Barat, dan kapal-kapal Belanda melaporkan mengenai adanya batu apung besar yang mengambang di Samudera Hindia di sebelah barat.
Pada tanggal 11 Agustus, pakar topografi Belanda, Kapten H. J. G. Ferzenaar, mulai menyelidiki pulau. Ia menemukan tiga gulungan abu telah melingkupi pulau, dan lepasan uap dari setidaknya sebelas ventilasi lainnya, sebagian besarnya terdapat di Danan dan Rakata.
Saat mendarat, Ferzenaar mencatat adanya lapisan abu setebal 0,5 m, dan musnahnya semua vegetasi pulau, hanya menyisakan tunggul-tunggul pohon. Keesokan harinya, sebuah kapal yang lewat melaporkan mengenai adanya ventilasi baru yang berjarak “hanya beberapa meter di atas permukaan laut”.
Aktivitas vulkanik Krakatau terus berlanjut hingga pertengahan Agustus
Tanggal 25 Agustus, letusan semakin meningkat. Sekitar pukul 13.00 tanggal 26 Agustus, Krakatau memasuki face paroksimal. Satu jam kemudian, para pengamat bisa melihat awan abu hitam dengan ketinggian 27 km (17 mi).
Pada saat ini, letusan terjadi terus menerus dan ledakan terdengar setiap sepuluh menit sekali. Kapal-kapal yang berlayar dalam jarak 20 km (12 mi) dari Krakatau telah dihujani abu tebal, dengan potongan-potongan batu apung panas berdiameter hampir 10 cm (3,9 in) mendarat di dek kapal. Tsunami kecil menghantam pesisir Pulau Jawa dan Sumatera hampir 40 km (25 mi) jauhnya pada pukul 18.00 dan 19.00.
Pada 27 Agustus, empat letusan besar terjadi pukul 05.30, 06.44, 10.02, dan 10:41 waktu setempat. Pada pukul 5.30, letusan pertama terjadi di Perboewatan, yang memicu tsunami menuju Teluk Betung. Pukul 06.44, Krakatau meletus lagi di Danan, menimbulkan tsunami di arah timur dan barat. Letusan besar pada pukul 10.02 terjadi begitu keras dan terdengar hampir 3110 km (1930 mi) jauhnya ke Perth Australia barat dan Rodrigues di Mauritius (4800 km (3000 mi) jauhnya).
Penduduk di sana mengira bahwa letusan tersebut adalah suara tembakan meriam dari kapal terdekat. Masing-masing letusan disertai dengan gelombang tsunami yang tingginya diyakini mencapai 30 m di beberapa tempat. Wilayah-wilayah di Selat Sunda dan sejumlah wilayah di pesisir Sumatera turut terkena dampak aliran piroklastik gunung berapi.
Energi yang dilepaskan dari ledakan diperkirakan setara dengan 200 megaton TNT kira-kira hampir empat kali lipat lebih kuat dari Tsar Bomba (senjata termonuklir paling kuat yang pernah diledakkan). Pada pukul 10.41, tanah longsor yang meruntuhkan setengah bagian Rakata memicu terjadinya letusan akhir gelombang tekanan yang dihasilkan oleh letusan kolosal keempat dan terakhir terpancar keluar dari Krakatau hingga ketinggian 1086 km/h (675 mph).
Letusan tersebut begitu kuat sehingga memecahkan gendang telinga para pelaut yang sedang berlayar di Selat Sunda, dan menyebabkan lonjakan tekanan lebih dari 2½ inci merjuri (ca 85 hPa) pada alat pengukur tekanan yang terpasang di Batavia. Gelombang tekanan terpancar dan tercatat oleh barograf di seluruh dunia, yang tetap terjadi hingga 5 hari setelah letusan.
Rekaman barografis menunjukkan bahwa gelombang kejut dari letusan terakhir bergema ke seluruh dunia sebanyak 7 kali. Ketinggian kabut asap diperkirakan mencapai 80 km (50 mi).
Letusan mulai berkurang setelah itu, dan pada pagi 28 Agustus, Krakatau terdiam. Letusan kecil, sebagian besarnya mengeluarkan lumpur, tetap berlanjut hingga Oktober 1883.
Pada tengah hari tanggal 27 Agustus 1883, hujan abu panas turun di Ketimbang (sekarang desa Banding, Kec Rajabasa, Lampung. Kurang lebih 1.000 orang tewas akibat hujan abu ini. Kombinasi aliran piroklastik, abu vulkanik, dan tsunami juga berdampak besar terhadap wilayah di sekitar Krakatau. Tak satupun yang selamat dari total 3.000 orang penduduk pulau Sebesi, yang jaraknya sekitar 13 km (8,1 mi) dari Krakatau.
Aliran piroklastik menewaskan kurang lebih 1.000 orang di Ketimbang dan di pesisir Sumatera yang berjarak 40 km (25 mi) di sebelah utara Krakatau. Jumlah korban jiwa yang dicatat oleh pemerintah Hindia belanda adalah 36.417, namun beberapa sumber menyatakan bahwa jumlah korban jiwa melebihi 120.000.
Kapal-kapal yang berlayar jauh hingga ke Afrika Selatan juga melaporkan guncangan tsunami, dan mayat para korban terapung di lautan berbulan-bulan setelah kejadian. Kota Merak luluh lantak oleh tsunami, serta kota-kota di sepanjang pantai utara Sumatera hingga 40 km (25 mi) jauhnya ke daratan.
Akibat letusan Krakatau, pulau-pulau di Kepulauan Krakatau hampir seluruhnya menghilang, kecuali tiga pulau di selatan. Gunung api kerucut Rakata terpisah di sepanjang tebing vertikal, menyisakan kaldera sedalam 250-meter (820 ft). Dari dua pulau di utara, hanya pulau berbatu bernama Bootsmansrots yang tersisa; Poolsche Hoed juga menghilang sepenuhnya.
Setahun setelah letusan, rata-rata suhu global turun 1,2° C. Pola cuaca tetap tak beraturan selama bertahun-tahun, dan suhu tidak pernah normal hingga tahun 1888.***
Editor: denkur
Referensi: wikipedia