DARA | JAKARTA – Tsunami Selat Sunda, 22 Desember 2018 dipicu longsor (flank collapse) Gunung Anak Krakatau seluas 64 hektare. Deputi Bidang Penginderaan Jauh Lembaga Penerangan dan Antariksa Nasional (Lapan) mempublikasikan peta citra satelit ‘Perubahan Morfologi Gunung Anak Krakatau’. Foto yang ditampilkan adalah hasil pemetaan sejak 1 Agustus-23 Desember 2018. Semua citra satelit diambil pada pukul 05.33 WIB.
Dari gambar terlihat ada perubahan bentuk Gunung Anak Krakatau sejak foto 11 Desember 2018 dan 23 Desember 2018. Ada bagian di sisi barat yang ‘hilang’ dan kawah jadi lebih besar.
“Berdasarkan pengamatan pada citra Sentinel-1 tanggal 1 Agustus sampai 23 Desember 2018, diketahui bahwa telah terjadi perubahan morfologi yang signifikan pada daerah kawah dan sekitarnya akibat erupsi 22 Desember 2018,” demikian keterangan dari situs Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja) Lapan.
Dari citra satelit yang terekam pada 23 Desember 2018, kawah gunung jadi makin lebar. Pusfatja menyebut kekuatan erupsi pada 22 Desember 2018 lebih besar daripada yang sebelumnya.
“Dapat diketahui bahwa kekuatan erupsi tanggal 22 Desember 2018 relatif lebih besar dibandingkan dengan erupsi dalam periode 31 Juli-10 Desember 2018,” kata Pusfatja.
BMKG sebelumnya mengatakan munculnya gelombang tsunami akibat longsoran kawah Gunung Anak Krakatau seluas 64 hektare. BMKG menyatakan gempa vulkanik memicu longsoran di bawah laut. Longsoran itu, kata dia, setara dengan guncangan gempa magnitudo 3,4.
“Dalam rilis sudah dituliskan bahwa bukti yang mendukung telah terjadi runtuhan lereng Gunung Anak Krakatau antara lain dari citra satelit yang menunjukkan luas 64 hektare, terutama pada arah barat daya. Terus sehari sebelumnya ada cuaca ekstrem gelombang tinggi sehingga memperparah gelombang tersebut,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati saat jumpa pers di kantornya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (24/12/2018).***
Editor: denkur
Berita ini pernah ditayangkan detikcom