Buruh Pabrik Tekstil CV. Sandang Sari, di Jalan AH Nasution, Kota Bandung, mogok kerja. Memprotes kebijakan perusahaan yang menyicil pembayaran tunjangan hari raya (THR).
DARA | BANDUNG – Pantauan di lokasi, sejumlah buruh hanya duduk-duduk di halaman pabrik seraya membawa pamflet bertuliskan tuntutan agar perusahaan membahayarkan THR.
Salah seorang buruh yang bertugas sebagai Operator Mesin Tenun, Sri Hartati menjelaskan aksi mogok produksi telah dilakukan buruh sejak tanggal 12 Mei 2020 kemarin.
Menurutnya, awal mula aksi mogok itu terjadi ketika perusahaan mengambil inisiatif sepihak untuk melakukan pembayaran THR dengan cara dicicil selama tiga bulan. Keputusan itu tertuang dalam Memo nomor 104/IM/HRD-PERS/V/2020 tanggal 12 Mei 2020.
Perusahaan sempat mengirim surat kepada tiga serikat buruh yaitu Kasbi, Sebumi, dan SP2M untuk menghadiri rapat membahas mekanisme pembayaran THR 2020 tanggal 7 Mei 2020.
Namun, ketiga serikat buruh telah sepakat bahwa TRH 2020 mesti dibayar langsung tanpa ada lagi pembahasan, sehingga mereka merasa tak perlu lagi hadir dalam rapat tersebut.
“Perusahaan mengirim surat undangan dua kali, keduanya kami menolak hadir karena kami rasa THR tak perlu dibahas lagi. Tiba-tiba perusahaan memutuskan sendiri bakal membayar THR secara dicicil. Ya kami protes dan gelar mogok kerja,” papar wanita yang juga merupakan salah satu anggota Serikat Buruh Mandiri Federasi Serikat Buruh Militan atau SBM F Sebumi itu, Rabu, (13/5/2020).
Buruh bertekad terus menjalankan aksi mogok produksi sampai perusahaan mengabulkan aspirasi mereka. Menurutnya, kewajiban perusahaan membayar TRH sudah dimuat jelas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Waktu pembayarannya pun telah diatur paling lambat 7 hari sebelum hari raya.
Pangkal persoalannya karena dasar hukum yang dipegang perusahaan. Sri menjelaskan perusahaan berpegang pada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan Dalam Masa Pandemi COVID-19.
” Kita tahu posisi undang-undang lebih tinggi daripada surat edaran, mesti perusahaan berpegang pada Undang-undang,” pungkasnya.***
Editor: denkur