KALEIDOSKOP 2018 Jelang Pilpres, Adu Narasi Sarat Benci

Senin, 31 Desember 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi: tribunnews

Ilustrasi: tribunnews

DARA| Jelang pemilihan presiden 2019, konstelasi politik tanah air cukup memanas. Dua kubu saling lempar kata-kata, mengurai narasi sarat benci. Katanya, itu bagian dari strategi pemenangan, dianggap lumrah meski sebetyulnya rakyat muak mendekar kata-kata para elite politik atau tim sukses kedua pihak.

Poin-poin yang ramai jadi berbincangan publik di tengah panasnya bertarungan kandidat Indonesia satu, diantaranya:

  1. Perang kata-kata tentang ekonomi, hutang negara dan impor beberapa komuditas
  2. Perang istilah “Tampang Boyolali” yang dikemudian dibalas dengan istilah “Politikus Sontoloyo”.
  3. Kasus hoax Ratna sarumpaet
  4. Isu Jokowi anggota PKI
  5. KTP tercecer
  6. Pengrusakan bendera dan spanduk Partai Demokrat
  7. Indonesia akan bubar
  8. Moderator pada debat capres

Publik terutama yang berada di lingkaran tim sukses kandidat presiden yang akan ditentukan nasibnya pada Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden April 2019 nanti mengharu biru ketika ada pernyataan yang dianggap bisa melemahkan elektabilitas lawan. Pernyataan Calon Presiden (Capres) Joko Widodo “politisi sontoloyo” ditangkap kubu lawan sebagai pernyataan yqang melecehkan para politisi. Lantas itupun hadir dengan berbagai bumbu di ruang publik. Tak pelak berbagai komentarpun berhamburan.

Hal serupa terjadi pada pernyataan Capres Prabowo Subianto ketika bertatap muka dengan warga Boyolali. “Tampang Boyolali” pun menjadi sasaran empuk untuk digoreng oleh Timses lawanya. Bahkan Bupati Boyolali Seno Samodro dan warga Boyolali berunjuk rasa untuk memprotes pernyataan “Tampang Boyolali” yang dianggap merendahkan warga Boyolali itu.

Umpatan itu kemudian berujung pada pangaduan ke Bawaslu dan Bareskrim Polri. Umpatan itu dianggap sebagai penghinaan terhadap Capres Prabowo. Di sudut lain Capres Prabowo menyatakan rasa hatinya, yang jika pernyataanya itu menyinggung perasaan warga Boyolali. Capres Prabowo meminta maaf kepada warga Boyolali. Tetapi tampaknya permintaan maaf itu, tidak menyelesaikan masalah. Warga yang merasa tersinggung paling tidak, tidak akan menjatuihkan pilihannya pada Capres Prabowo di hari H Pilpres nanti.

Namanya tahun politik, berbagai pernyataan dari para petandang akan mendapat sorotan atau perhatian publik, Bahkan Timses masing – masing saling mengintip untuk mencari dan menunggu datangnya pernyataan untuk bisa “digoreng” agar lawan bisa jatuh oleh pernyataanya sendiri.

Itu makanya kegaduhan opini, isu atau bahkan informasi hoak di tahun politik berseliweran. Informasi tersebut manakala dicermati tak satupun yang memberikan kecerahan untuk publik pemilih. Tak lebih pernyataan-pernyataan yang hadir ke ruang informasi publik hanya pernyataan dengan muatan untuk saling menjatuhkan lawan. Lontaran pernyataan itu bisa jadi hanya sebagai alat untuk merebut margin elektoral. Ini suka atupun tidak harus diakui, sebab reflek dari Timses masing-masing kubu akan sangat reaktif manakala ada pernyataan ataupun gestur dari para Capres yang bisa dianggap melemahkan elektoralnya. Tak harus menunggu lama, para Timses langsung menggoreng pernyataan Capres itu. Ambil contoh “politisi sontoloyo” dan “Tampang Boyolali” itu. Kedua pernyataan ini dianggap bisa menekan eletoral margin yang dimiliki kedua Capres.

Padahal jujur saja, bahwa dalam kehidupan politik penuh retorika. Jadi anggap saja, pernyataan pernyataan  yang muncul di tahun politik yang berkontek politis untuk saling menjatuhkan itu sebagai retorika. Itupun jika kontens pernyataan yang muncul di ruang publik semata untuk mempengaruhi pemilih dengan berbagai muatan yang memberikan harapa lebih baik. Namun yang terjadi saat ini, pernyataan yang muncul di ruang publik adalah bermuatan “peluru” untuk menjatuhkan lawan yang tidak memberikan harapan lebih baik bagi publik.

Sepertinya kita, di tahun politik ini harus mengingat teori pakar ilmu retorika Inggris Littlejohn, bahwa titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengungkapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu.***

Editor: denkur

Berita Terkait

Kapolri dan Menteri P2MI Bersinergi Lindungi Pekerja Migran Indonesia
Sertijab Pejabat Korpolairud Baharkam Polri, Ini Daftar Namanya
Menhan dan KSAU Diskusikan Kedatangan Pesawat Tempur Rafale
Selama Tahun 2024, Kemkomdigi Identifikasi 1.923 Konten Hoaks
Lolos Seleksi, Ini Tiga Maskapai yang Siap Memberangkatkan Jemaah Haji
Turun dari Tahun 2024, Inilah Besaran Biaya Haji Tahun 2025
Waspadalah, Virus Human Metapneumovirus Sudah Masuk Indonesia, Penyakit Apa Itu?
Makan Bergizi Gratis Sudah Bergulir, Menunya Disesuaikan dengan Selera Masyarakat Setempat
Berita ini 2 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Kamis, 9 Januari 2025 - 19:24 WIB

Kapolri dan Menteri P2MI Bersinergi Lindungi Pekerja Migran Indonesia

Kamis, 9 Januari 2025 - 12:03 WIB

Sertijab Pejabat Korpolairud Baharkam Polri, Ini Daftar Namanya

Kamis, 9 Januari 2025 - 11:46 WIB

Menhan dan KSAU Diskusikan Kedatangan Pesawat Tempur Rafale

Rabu, 8 Januari 2025 - 20:39 WIB

Selama Tahun 2024, Kemkomdigi Identifikasi 1.923 Konten Hoaks

Selasa, 7 Januari 2025 - 13:52 WIB

Lolos Seleksi, Ini Tiga Maskapai yang Siap Memberangkatkan Jemaah Haji

Berita Terbaru

Ilustrasi: net/istimewa

JABAR

Kota Sukabumi Lima Tahun Kedepan Dipimpin Ayep-Bobby

Kamis, 9 Jan 2025 - 20:05 WIB

Foto: Istimewa

JABAR

Ketua Pengelola Geoprak Ciletuh Diganti, Ini Alasannya

Kamis, 9 Jan 2025 - 17:14 WIB

OLAHRAGA

PELATIH INDONESIA Kluivert & Warisan Rinus Michels

Kamis, 9 Jan 2025 - 16:31 WIB