MENJELANG Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bupati dan walikota serempak yang dijadwalkan Desember 2020 mendatang mengemuka soal politik dinasti. Isu anti politik dinasti ini bisa berindikasi pada adanya penolakan terhadap pencalonan atau bakal calon dari keluarga bupati yang sebelumnya menjabat.
Misal bupati atau wali kota yang sudah tidak bisa menjabat lagi karena terkena aturan tidak bisa mencalonkan untuk yang ketiga kalinya. Namun ada keluarga, istri atau anaknya mencalonkan untuk ikut bertarung pada Pilkada.
Ini terjadi di sejumlah daerah tunjuk saja di Jabar. Karena itu banyak pihak mengkhawatirkan politik dinasti itu terus berlanjut oleh keluarga yang sebelumnya menjabat bupati atau wali kota. Mereka yang anti politik dinasti meyakini jika tak dipangkas akan tumbuhnya politik dinasti di pemerintah daerah. Lebih negatip lagi pengandaian yang anti dinastik ini jika bertumbuh tak bakal berefek kemajuan bagi daerah.
Boleh saja pemikiran yang anti politik dinasti ini kita nyatakan subyektif. Namun di sisi lain, patut pula dipikirkan benarkan politik dinasti berimplikasi terhadap kemajuan daerah?
Untuk persoalan dinasti politik yang dikhawatirkan itu jika memang harus tidak tumbuh di darah selayaknya terlebih dahulu kita memahami arti demokrasi dalam konteks eksistensi patrionalisme.
Maka dipastikan dinasti politik ini akan dinyatakan tidak perlu diperdebatkan. Sebab dinasti politik sudah menjadi bagian dari negara sistim demokrasi yang kini berkembang di Indonesia. Bahkan poliitik dinasti ini sudah ada sejak dulu, dari sistem kerajaan yang sempat meraih kejayaan di masa lalu.
Yang perlu dipikirkan kini adalah, calon atau tokoh yang dicalonkan oleh dinasti politik dapat menarik simpatik para pemiilih atau tidak. Toh pada dasarnya demokrasi adalah menyepakati kemenangan dengan suara terbanyak. Maka dari mana saja predikat calon kepala daerah itu dicalonkan, jika mendapat suara terbanyak dalam pemngutan suara, maka dialah sebagai pemenangnya.
Berlandaskan hal itu suka atau tidak suka dinasti politik dalam politik praktis di Pilkada mengarah ke arah menjadi kultural, Namun begitu harus dipikirkan pula agar dinasti politik ini tidak membentuk struktural di pemerintahan yang bakal dipimpinnya. Sebab akan berbahaya jika pada struktur pemerintahan terbangun dinasti politik. Jika ini terjadi maka kroni, atau oligarki di pemerintahan daerah akan tumbuh subur.
Di sini sepertinya politik dinasti ini akan memunculkan karater paradoksal. Karena satu sisi negara telah jalankan demokrasi tapi sisi lain demokrasi itu justru menyuburkan perintahan dinasti.
Kehidupan politik di Indonesia termasuk dalam demokrasi di Pilkada tidak bisa dipisahkan dari budaya politik. Seperti diketahui budaya Indonesia adalah patroinase. Tidak hanya di birkroasi ternyata tumbuh juga di partai politik.
Maka salahkah DPD Partai Golkar Kabupaten Bandung mencalokan Kurnia Agustina Naser, yang berstatus sebagai istri Bupati Bandung Dadang Naser?