Profesionalisme menjadi sikap yang harus dipegang teguh bagi para profesional. Sikap ini tak pilih bulu bagi profesi apa saja seperti advokat, dokter, guru, termasuk wartawan.
Kaum profesional akan sangat mempertimbangkan sikap moral dalam melaksanakan tugas profesinya. Maka etik keprofesian dalam lingkup organisasi menjadi tolok ukur bagi turunnya sanksi profesi, termasuk sanksi organisasi profesi terhadap individu profesional yang dianggap melanggar.
Kode etik profesi, karena itu harus menjadi pedoman dalam langkah operasional kaum profesional. Apalagi bagi wartawan dalam operasional tugas jurnalistik dituntut untuk selalu mengedepankan penerapan prinsif-prinsif moral dasar berkehidupan, tingkah laku yang sesuai engan kode etik jurnalistik.
Seperti dimaklumi, wartawan dalam pelaksanaan tugas jurnalistiknya akan berinteraksi dengan berbagai kalangan masyarakat.
Ini berkaitan dengan tuntutan kelayakan sebuah berita yang belum disusunnya atau dalam pengembangan berita yang sudah diterbitkannya.
Di era informasi ini wartawan menyajikan hasil kerja jurnalistiknya ke berbagai saluran media.
Di media cetak (surat kabar, majalah dan sejenisnya) televisi, radio dan media online pada dasarnya wartawan dengan berbagai saluran hasil kerja jurnalistiknya itu berpijak pada kepentingan umum atau publik.
Banyak kalangan menilai, pekerjaan wartawan sebagai pekerjaan mulia, jika saja pekerjaan profesional ini dikerjakan dengan pedoman profesi yaitu Kode Etik Jurnalistik. Tanpa ada niat sedikitpun untuk melanggarnya kemuliaan itu bukan sebuah keniscayaan.
Kecuali itu akan pula mendapat kepercayaan penuh dari publik. Kepercayaan ini akan paralel dengan kepercayaan terhadap media tempatnya bekerja.
Selain Kode Etik Jurnalistik wartawan Indonesia dalam tugasnya juga diatur oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Undang-undang ini tidak hanya mengatur hak-hak dan kewajiban wartawan, namun juga mengatur hak publik.
Hak wartawan diantaranya hak perlindungan hukum saat bertugas dan dalam perkara delik pers. Sedangkan hak publik diantaranya Hak Jawab dan Hak koreksi.
Dengan demikian produk jurnalistik berupa berita, foto atau tulisan karangan khas harus mengacu pada kode etik dan undang-undang tersebut serta peraturan peraturan Dewan Pers. Artinya, profesionalitas seorang wartawan dapat terbaca dari hasil karyanya, taat kode etikkah dalam mencari, menyusun dan menerbitkan berita atau tulisanya.
Profesionalitas dalam pemberitaan menjadi keharusan bagi seorang wartawan seperti diantaranya tidak menyebutkan nama dan identitas korban kejahatan asusila, tidak memberitakan informasi yang menyesatkan pembaca atau publik, tidak menyiarkan berita bohong serta wartawan tidak mencampuradukan opini dan fakta dalam berita.
Ini harus ditaati, sebab wartawan bukan netizen atau blogger/pengelola blog dan atau penulisan informasi di media sosial.
Para penggiat media sosial sangat berbeda dengan wartawan. Mereka memanfaatkan teknologi informasi tanpa kode etik, sehingga mereka sangat longgar untuk memposting apa saja yang mereka dengar dan mereka lihat tanpa pedoman kode etik dan kaidah jurnalistik.
Postingan mereka bisa apa saja yang tengah terjadi di lingkungan masyarakatnya. Mereka juga bisa menulis opini dengan menggunakan referensi yang mungkin saja akurat, tetapi tidak menutup kemungkinan akan terdapat kekeliruan, bahkan beberapa diantaranya cenderung mengedepankan kepentingan diri dan kelompok tertentu.
Karena itu wartawan seyogyanya mengharamkan mengambil berita secara mentah-mentah dari hasil kerja para penggiat media sosial ini sebelum mencari kebenaran isu yang dipublishnya di media sosial tersebut.
Wartawan profesional adalah mampu menjaga keseimbangan berita, menjunjung tinggi ketidakberpihakan dan menjaga etika profesi, sebab menjadi wartawan yang sesungguhnya tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan dalam menulis berita.
Tetapi bagaimana seorang wartawan mampu menguasai diri untuk tetap menaati kaidah-kaidah yang berlaku.
Perusahaan Pers masa kini akan tetap mengharapkan seorang wartawan yang memiliki kecepatan, ketelitian, keuletan dan ketaatan terhadap aturan profesi.
Alasanya perusahaan media menuntut profesionalisme dari seorang wartawan yang direkrutnya. Ini seiring dengan tuntutan beban tanggung jawab yang sangat besar terhadap masyarakat.
Maka konsekuensi wartawan profesional juga harus membantu masyarakat dalam mendapat informasi yang benar, apalagi di masyarakat saat ini terjadi berbagai fenomena akibat perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat.
Maka wartawan harus bisa menyajikan berita atau tulisan yang akurat dapat dipercaya, dan dapat diyakini kebenarannya.
Wartawan dituntut pula untuk bersikap seimbang dalam pemberitaan. Artinya setiap berita yang disajikan harus berkeseimbangan agar tidak terjadi adanya salah satu pihak yang merasa dirugikan, sebab tuntutan dasar profesi wartawan adalah memahami apa tugas dan tanggung jawabnya, serta bagaimana wartawan harus menjalankan tugas profesinya dengan baik, benar dan berkesinambungan.***