Ratusan orang yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI) PT Masterindo Jaya Abadi Kota Bandung menggelar aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja, di depan Gedung DPRD Kota Bandung, Kamis (8/10/2020).
DARA | BANDUNG – Berdasarkan pantauan, Ketua DPRD Kota Bandung Tedy Rusmawan dan Wakil Ketua DPRD Kota Bandung Edwin Senjaya menerima langsung perwakilan peserta aksi untuk menyampaikan aspirasi mereka.
“Jadi sebagai fungsi perwakilan rakyat, kami menerima aspirasi yang diajukan oleh para buruh terkait keberatan akan disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja. Apa saja yang menjadi aspirasi mereka, akan kami sampaikan langsung kepada presiden. Mudah-mudahan perjuangan menuntut keadilan dari rekan-rekan ini hasilnya bisa sesuai dengan apa yang mereka harapkan,” ujar Tedy.
Meski telah melalui serangkaian proses tahapan sebelum akhirnya disahkan di Panitia Kerja DPR RI, namun secara pribadi dirinya memilih untuk ikut menolak hadirnya UU Cipta Kerja. Lantaran, banyak hal yang menjadi catatan dan kritisi dari legislatif di daerah.
Salah satunya, UU Cipta Kerja yang seharusnya mampu mengakomodir peningkatan kualitas kesejahteraan kaum pekerja/buruh, namun justru kebijakannya dinilai memberatkan dan menjadi pertanyaan bagi berbagai lapisan masyarakat.
“Undang-undang ini pun memberikan dampak ketidakseimbangan keadilan antara pengusaha dan para pekerja. Jadi kami melihat pengusaha terlalu diberi kemudahan sementara para pekerja justru mengalami beberapa pengurangan hak kesejahteraan, dimana seharusnya kebijakan itu memberikan kesetaraan yang sama,” bebernya.
Selain itu, persoalan lainnya adalah kemudahan akses bagi tenaga kerja asing, yang berpotensi menimbulkan dilema di masyarakat, bahkan menutup peluang kesempatan produktif bagi tenaga kerja lokal.
“Melihat fenomena kondisi di daerah saat ini, persaingan antara tenaga kerja ini sudah ketat. Sehingga dengan kebijakan yang sangat mempermudah tenaga kerja asing ini justru semakin memberatkan tenaga kerja kita.
Contohnya saja terkait resistensi tenaga kerja asing dalam proyek KCIC yang sedemikian besar, apalagi bila diberikan ruang yang lebih besar lagi dengan diberlakukannya UU ini, seharusnya turut dipikirkan, terutama bagaimana dampak sosialnya di daerah,” ujarnya.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini pun kembali menegaskan, meskipun kebijakan tersebut menjadi domain dari pemerintah pusat, namun yang menjadi sangat terdampak adalah pemerintah di daerah. Termasuk terkait kebijakan indutrialisasi pendidikan pun menjadi salah satu masalah yang dipersoalkan.
Bila hal itu diterapkan, masyarakat yang memiliki lembaga pendidikan lokal akan semakin tergerus dan menciptakan persaingan yang tidak sehat.
“Oleh karena itu, kami di DPRD Kota Bandung sejalan dengan apa yang telah dilakukan Pemkot Bandung, yaitu akan menyampaikan aspirasi penolakan kepada pemerintah pusat. Mudah-mudahan kondisi masifnya aksi penolakan di daerah ini menjadi gambaran dan pertimbangan bagi pusat untuk membatalkan atau mengkaji kembali Undang-Undang Cipta Kerja tersebut sebelum dipermanenkan,” pungkasnya.***
Editor: denkur