“Bukan tidak mau mendampingi anak-anak sekolah daring. Tapi itu tuh ribetnya minta ampun. Tugas-tugasnya beda dengan mata pelajaran saya dulu, akhirnya jadi darting,” aku Retno warga Baleendah.
DARA| BANDUNG- Ibarat buah simalakama. Begitulah yang dirasakan emak-emak menyikapi pembelajaran sekolah selama pandemi Covid-19 saat ini.Khususnya mereka yang sekolah di tingkatan TK dan SD.
Betapa tidak, jika anak-anak sekolah secara normal dengan tatap muka di sekolah, bahaya virus Corona dipastikan mengancam. Sebaliknya, jika pembelajaran dilakukan secara daring orangtua merasakan beban yang cukup membingungkan, baik soal materi pembelajaran mau pun pembiayaaan.
“Bukan tidak mau mendampingi anak-anak sekolah daring. Tapi itu tuh ribetnya minta ampun. Tugas-tugasnya beda dengan mata pelajaran saya dulu, akhirnya jadi darting,” aku Retno warga Baleendah.
Orangtua lainnya, Lia Banowati yang anaknya sekolah di SMP kelas 1 menambahkan, sekolah daring memaksa dirinya ekstra hati-hati mengawasi anaknya menggunakan gadget.
“Kalau saya si bukan soal ngawasin belajarnya, tapi soal pemanfataan gadgetnya. Saya dan suami sangat ketat kepada anak-anak, Hp juga belum dikasih android tapi hp biasa,” ujarnya, seraya menambahkan, dengan penerapan sekolah daring ini, ia terpaksa memberikan anak Hp android.
Kekhawatiran Lia senada dengan Momy dan Eni. Mereka khawatir bahaya gadget bagi anak-anak. Mulai dari potensi mengakses konten porno, konten unfaedah, kecanduan game.
Dengan pelajar daring, mau tidak mau, anak-anak justru dikondisikan untuk mengakses gadget. Mulai dari menyimak penjelasan guru hingga mengerjakan tugas. Hal ini tentu kontraproduktif. Jika orang tua tak memantau ketat, anak dikhawatirkan terkena potensi negatif gadget tersebut.
Dari aspek ekonomi, pembelajaran daring biaya rumahtangga jadi membengkak, karena kebutuhan kuota data meningkat. Akibatnya, emak-emak makin pusing memikirkan pengeluaran yang membengkak.
Bagi orangtua yang bekerja, banyak anak-anak yang mengerjakan tugas sekolah terpaksa menunggu orangtuanya pulang bekerja hingga sore. Beberapa anak tidak dibekali gadget karena khawatir dampak negatifnya juga karena keterbatasan pengadaan gadget.
Bagi mahasiswa atau siswa SMA/MA, mungkin materi yang disampaikan secara daring bisa dipahami. Namun bagi anak SD/MI, faktanya tidak demikian. Biasanya setelah lima menit mereka mulai mengutak-atik layar atau memperhatikan hal lain.
Akhirnya orang tua harus menjelaskan materi pada anak. Hanya saja, tak semua orang tua punya kompetensi untuk menjelaskan. Jika anak tak kunjung paham, tak jarang emak-emak jadi emosi. Hal ini tentu tak sehat untuk suasana rumah.
Buku Sabilulungan Based Learning
Menyikapi kegalauan sebagian orangtua tersebut, Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kabupaten Bandung, Juhana meluncurkan buku berjudul “Sabilulungan Based Learning”.
Buku tersebut merupakan petunjuk teknis (juknis) panduan pelaksanaan belajar mengajar di sekolah di masa pandemi Covid-19.
Menurut Juhana, buku tersebut bisa menjadi pegangan bagi sekolah dalam pelaksanaan pembelajaran baik saat pendidikan jarak jauh (PJJ), maupun bila nanti digelar pembelajaran tatap muka.
“Dengan buku ini mudah-mudahan sekolah percaya diri dalam pelaksanaan pembelajaran baik PJJ maupun ketika AKB (adaptasi kebiasaan baru),” katanya.
Buku “Sabilulungan Based Learning” bisa menjadi panduan pembelajaran sekolah dari mulai tingkat PAUD, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi.
Buku tersebut ditulis dari hasil pengalaman dan gagasan dirinya saat melihat langsung pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di masa pandemi, yang telah dilakukan beberapa bulan belakangan.
Dalam buku tersebut, panduan PJJ dibuat sedemikian rupa agar pembelajaran berjalan produktif.
“Buku ini lahir dari inspirasi pengalaman kepsek-kepsek untuk melengkapi dan memperkaya konsep belajar di masa pandemi,” katanya.
Juhana mengatakan, buku panduan tersebut merujuk pada ketentuan Kemendikbud dan SKB 4 Menteri mengenai proses pembelajaran di masa pandemi Covid-19.
Kemudian dirinya memberikan gagasan dan menuliskan secara rinci panduan pembelajaran di masa Covid-19 dalam sebuah buku. “Kita ingin cetak buku ini 1.400 pcs untuk SD, 330 untuk SMP, 1.800 untuk PAUD, dan juga masyarakat luas,” katanya.
Editor : Maji