Pernikahan anak usia dini masih kerap terjadi di Indonesia. Tentu saja berdampak pada kerawanan sosial, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bahkan perceraian.
DARA – Pasalnya, akibat masih labilnya emosi anak-anak dalam menyikapi permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga.
Dalam rangka mencegah pernikahan anak, Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Bencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung menggulirkan program Sabilulungan Pendewasaan Usia Kawin Terjaga Keluarga Sehat (Sapujagat).
“Kami membuat program Sapujagat, yaitu dalam rangka melaksanakan Peraturan Bupati Nomor 128 Tahun 2020 tentang pencegahan kekerasan terhadap anak dan upaya pencegahan kawin di usia anak, sebab pernikahan di usia anak merupakan bibit kekerasan terhadap anak,” ujar Kepala DP2KBP3A Kabupaten Bandung, Muhammad Hairun saat dihubungi via telepon, Kamis (7/1/2020).
Dalam Perbup tersebut, lanjut Hairun, mengatur bagaimana peran Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Kabupaten Bandung untuk mensosialisasikan kepada keluarga dan remaja itu sendiri, artinya anak-anak yang di bawah 18 tahun menurut undang-undang perlindungan anak, agar dapat terhindar dari pernikahan di usia anak.
Tak hanya menggulirkan program Sapujagat, pihaknya juga bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bandung untuk membuat buku panduan pencegahan dan penanggulangan problematika usia kawin anak.
“Aturan dan pedoman ini akan membekali masyarakat, tokoh masyarakat, pondok pesantren, sekolah dan para remaja,” ujar Hairun.
Selanjutnya mengenai program keluarga sehat, Hairun menuturkan bahwa program itu sangat bermanfaat ditengah kondisi pandemi Covid 19. Karena, ketahanan keluarga harus kuat sehingga kondisi kesehatan keluarga, baik itu pikiran maupun jiwanya, bisa sehat.
“Bagaimana keluarga itu sehat, tidak punya masalah di keluarganya atau harmonis, sehingga bisa menjaga ketahanan tubuh,” tutur Hairun.
Sementara itu, Ketua Bidang Infokom MUI Kabupaten Bandung, Aam Muamar mengatakan pihaknya memang terlibat dalam penyusunan buku tentang pernikahan anak, yang bekerjasama dengan DP2KBP3A Kabupaten Bandung. Kata Aam, didalam buku itu berisi tentang masalah perkawinan anak dari perspektif hukum, baik hukum positif maupun hukum agama, pendidikan hingga kesehatan.
“Fenomena pernikahan anak ini memang nyata di masyarakat. Bahkan ini menjadi salah satu penyumbang angka perceraian yang cukup tinggi,” kata Aam.
Mengedukasi masyarakat kaitan dengan pernikahan anak, kata Aam, memang secara non formal sudah dilakukan melalui pengajian-pengajian, khutbah-khutbah dan sebagainya.
“Meskipun memang belum terkoordinir, dalam artian dikondisikan oleh MUI itu sendiri,” kata Aam.***
Editor: denkur