Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pengadaan lahan ruang terbuka hijau (RTH) Kota Bandung dan pencucian uang yang melibatkan terdakwa Dadang Suganda, kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Selasa kemarin (19/1/2021).
DARA – Dalam persidangan kali ini, penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menghadirkan mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada dan mantan Sekretaris Daerah Kota Bandung Edi Siswadi.
Juga dua pejabat Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Bandung Agus Slamet Firdaus dan Hermawan.
Mereka dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa Dadang Suganda.
Saksi yang pertama diperiksa, ialah Dada Rosada dan Edi Siswadi. Pernyataan kedua saksi menunjukkan bahwa ada keganjilan dalam proses pengadaan lahan RTH. Bahkan, hingga ke pertanggungjawaban penggunaan APBD tahun 2012.
Dalam kesaksiannya, Dada mengaku tidak pernah membuat surat keputusan pembebasan lahan RTH diluar penetapan lokasi (penlok). Anggarannya ada dan tercatat dalam APBD Kota Bandung tahun 2012.
“Setiap kegiatan yang menggunakan APBD harus sesuai prosedur. Itu yang saya perintahkan,” tegasnya.
Sementara itu terkait aliran uang guna menyelesaikan masalah bantuan sosial, diakui Dada, memang ada perintah dari dirinya, namun tidak ada kaitannya dengan RTH.
“Saya perintahkan mengumpulkan uang dari urunan para kepala dinas. Ini digunakan untuk menutupi pengembalian dana bansos sebesar Rp2,4 miliar untuk terpidana Hafid Kurnia dan enam PNS lainnya,” ujar Dada.
Untuk kucuran uang Rp10 miliar yang diterima Edi Siswadi dari Dadang Suganda, mantan orang nomor satu Kota Bandung ini menyatakan tidak tahu.
“Dalam mencari dana yang dilakukan Herry Nurhayat (eks Kepala DPKAD) melalui pinjaman, saya tahu dari laporannya. Namun, sumber uang pinjaman dari Dadang Suganda, saya tidak tahu,” ujarnya.
Saat itu uang tersebut, tambahnya untuk kebutuhan perkara bantuan sosial. Namun, dia tidak mengetahui uang itu dari Dadang Suganda.
Edi Siswadi mengaku membutuhkan uang untuk dua masalah berbeda, yakni perkara bansos dan pemilihan kepala daerah Kota Bandung 2013.
Hal itu dilakukan setelah KPK mengendus adanya dugaan korupsi dalam kegiatan bansos di Pemkot Bandung.
“Permintaan uang untuk menyelesaikan perkara bansos dan pembiayaan pilkada setiap minggu nggak henti-hentinya. Saya harus menyediakan uang tersebut,” kata Edi.
Pinjaman uang jadi salah satu solusi, imbuh Edi, itu pun tak memerhatikan sumbernya dari mana. Terpenting baginya adalah perkara bantuan sosial dapat ditutup, sehingga tak mengganggu kontestasi pilkada yang sedang diikutinya. Keputusan itu dilakukan sebelum ada peristiwa tangkap tangan oleh KPK.
Selaku kuasa pengguna anggaran (KPA), Agus Slamet Firdaus mengelola dana pagu untuk kepentingan proyek pengadaan lahan RTH di DPKAD Kota Bandung, sehingga kontrol kegiatan itu atas dasar pelimpahan wewenang berada ditangannya.
“Saya melaksanakan proses pembebasan lahan RTH mengacu pada aturan perundang-undangan yang berlaku. Begitupun dalam penlok. Sejatinya bukan acuan dalam kegiatan yang berhubungan dengan kepentingan umum,” jelas Agus.
Sontak pernyataan Kepala Bidang Aset DPKAD selaku KPA dalam kegiatan pengadaan lahan RTH Kota Bandung 2012 tersebut mengundang reaksi PU KPK.
Adu argumen berdasar konsideran menimbang masing-masing pihak mewarnai jalannya sidang, namun tidak menemukan kesamaan pendapat.
Sementara untuk saksi Hermawan, penuntut umum KPK mengonfirmasi terkait dugaan pengadaan lahan RTH diluar penlok yang dikuasai terdakwa Dadang Suganda.
Pelaksanaan proyek pengadaan lahan RTH Pemkot Bandung tersebut disinyalir penloknya tumpang tindih. Sehingga, transaksinya banyak melibatkan kuasa jual.
“Memang ada pembebasan lahan RTH, terutama yang di wilayah Kecamatan Cibiru tak mengacu pada penetapan lokasi,” ujar Hermawan.***
Editor: denkur