Tidak bisa mengikuti pembelajaran secara intens hingga dibawa kerja oleh kerabatnya menjadi salah satu dampak yang dialami oleh para siswa di Kabupaten Bandung, yang tidak memiliki sarana memadai saat harus mengikuti kegiatan belajar dengan sistem daring.
DARA – Sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 memaksa sistem belajar mengajar menjadi terbatas, hanya bisa dilakukan secara daring atau kalaupun bisa secara langsung maka hanya akan diikuti oleh sedikit siswa.
Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Bandung, Juhana mengungkapkan sistem pembelajaran dengan sistem daring membuat ratusan siswa lost kontak atau tidak bisa mengikuti pembelajaran secara intens.
“Bukan angka putus sekolah, tapi yang ada angka lost kontak, yaitu yang tidak terjangkau sinyal dan tidak punya android itu sekitar empat persen dari total siswa,” ujar Juhana saat dihubungi via telepon belum lama ini.
Juhana menyebutkan, pembelajaran daring sesungguhnya tidak terlalu masalah bagi siswa SD dan TK, karena secara intens ada guru kunjung. Bahkan, kadang-kadang anak yang dekat sekolah, bisa masuk sekolah, secara individu, menyerahkan tugas, mengambil tugas.
“Kan ada yang namanya pos pelayanan konsultasi BDR. Sementara yang tidak bisa datang ke sekolah itu cuman ada sekitar empat persen dari jumlah seluruh siswa, ya sekitar dibawah 500 orang,” lanjutnya.
Selain ditemukan siswa yang lost kontak, Juhana juga mengaku bahwa ada siswa yang dibawa bekerja oleh saudaranya. Kata Juhana, anak SMP dan itu jumlahnya ada beberapa.
“Ketika dikunjungi oleh guru, ternyata dibawa kerja oleh saudaranya. Jadi guru kan tidak bisa mengunjungi setiap hari, jadi dianggapnya belajar tidak serius, karena dia tidak ada sinyal dan tidak punya android, sehingga ada yang dibawa kerja,” tutur Juhana.
Juhana mengaku hanya bisa mengetahui ada tidaknya siswa yang putus sekolah pada saat akhir tahun pelajaran. Jadi, untuk saat ini hanya bisa diketahui siswa yang lost kontak, karena keterbatasan yang membuat belajar mengajar jadi tidak intens.
“Sekarang PPKM, instruksi Mendagri tegas belajar daring dan online, sehingga guru kunjung juga terbatas,” katanya.
Pihaknya juga tak menampik bahwa kondisi saat ini rawan akan terjadinya pernikahan dini, utamanya ditingkat sekolah menengah atas.
Kalau di daerah, tingkat sekolah menengah pertama juga bisa mengalami pernikahan dibawah umur. Tapi untuk saat ini, Juhana mengaku belum mendapatkan laporan mengenai siswa yang menjalani pernikahan dini.
Upaya Disdik dalam mencegah pernikahan dini, kata Juhana, diantaranya yaitu pertama meningkatkan frekuensi guru kunjung.
Kemudian juga disiapkan program yang disebut dengan matrikulasi yaitu menginventarisir kompetensi pada mata pelajaran tertentu yang memang anak ketinggalan, dan juga ada remedial.
“Kalau ada waktu maka remedial, tapi kalau tidak terkejar oleh remedial maka matrikulasi. Kemudian kalau dia penguasaan kurikulumnya lewat 50 persen, dinaikkan kelas saja, tapi dia punya hutang, kalau tidak naik kelas kan bermasalah juga. Kurikulumnya disederhanakan, alat evaluasi juga disederhanakan,” paparnya.
Sementara untuk pelaksanaan belajar tatap muka, pihaknya menargetkan bisa dilakukan saat guru-guru sudah menjalani Vaksinasi Covid 19 ditambah jeda waktu.
Katanya, itu secara medis dianggap punya imun yang bagus, sehingga tidak rawan saat harus menjalani pembelajaran langsung.
“Penyesuaian secara bertahap, misalnya 25 persen dulu, 50 persen, dan seterusnya, ada pengurangan jumlah siswa dan jumlah jamnya, tahap pertama itu mungkin dua hari atau tiga hari, jadi kombinasi antara daring dengan luring,” pungkas Juhana.***
Editor: denkur